Sijunjung dan Kebijakan di Masa Pandemi Covid-19

1791

Oleh; Ashelfine Rajo Perpatiah

KONDISI Indonesia sebelum, saat dan sesudah wabah pandemi virus corona (Covid-19) melanda (entah kapan berakhirnya), rakyat akan selalu menjadi korban atas semua kebijakan yang tidak relevan dan plin plan dari pemerintah.

Penulis mencermati; pertama, saat sebelum Covid-19, banyak kalangan menuding pemerintah lamban menerapkan aturan pembatasan fisik (physical distancing) ataupun pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dimana terkesan menunggu ada yang Positif Covid-19 barulah pemerintah bertindak.

Setelah pembawa virus bepergian kesana kemari, pemerintah menerapkan pola aturan seperti sekarang hingga tenaga medis kewalahan dengan banyaknya mereka yang terpapar Covid-19.

Kedua, mengenai bantuan masyarakat miskin berupa BLT dan lain-lain yang diberikan pemerintah dengan jumlah yang sangat besar tapi realisasinya tidak tepat sasaran dan lagi sampai saat ini bank data yang dimiliki oleh pemerintah tidak pernah terealisasi dengan baik, (selalu berubah sesuai kebutuhan/kepentingan).Kenapa tidak digunakan dengan metode usaha produksi ketimbang bantuan langsung?

Bahkan dengan dana-dana itu pemerintah bisa saja menstabilkan harga, menampung hasil-hasil perkebunan pertanian masyarakat yang terkena imbas dengan bantuan tersebut. Rasanya seperti ini akan lebih efektif.

Kemudian ketiga, setelah masa Covid-19 ini berakhir (entah kapan) kita lihat/baca adapula program stimulus ekonomi yang terkena dampak dari pandemi ini, yang nominalnya sangat besar, dimana nantinya itu juga bisa digunakan memperbaiki kembali lapangan kerja, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), ataupun industri menengah ke bawah yang telah hancur lebur karena Covid-19.

Kemudian merekrut kembali mereka yang dirumahkan hingga ekonomi mikro Indonesia kembali stabil. Petani, nelayan, buruh dan masyarakat akan kembali bisa hidup sejahtera sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD).

Dari uraian di atas tadi, penulis menyarankan, terkhusus di daerah Kabupaten Sijunjung, daripada pemda memberikan bantuan langsung tunai (BLT) atau bansos lainnya yang sifatnya sesaat dan banyak menimbulkan kecemburuan sosial di antara masyarakat, alangkah baiknya anggaran sebesar Rp22 M (Padek, 14/5) yang bersumber dari APBD tersebut dialihkan dengan membuat badan usaha penyangga atas hasil pertanian, perkebunan dan UMKM dari masyarakat itu sendiri.

Dari kebijakan itu maka akan dihasilkan kestabilan harga sehingga masyarakat akan kembali hidup lebih layak, saat adanya pergeseran sistem penganggaran yang selama ini fokus pada pos belanja/pengeluaran kepada kinerja sehingganya akan memudahkan pemda dalam pengukuran kinerja dalam pencapaian tujuan keberhasilan dari pengunaan dana dari daerah tersebut.

Dan hal ini sejalan dengan UU No 23 Tahun 2014 junto Peraturan Pemerintah No 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2017 tentang Perusahaan Daerah atau BUMD dan dengan telah disahkan Perpu No 1/2020 menjadi UU No 2 Tahun 2020.

Dengan itu, maka semakin kuat dasar dari pemda dalam perubahan anggaran yang tepat sasaran dan berkesinambungan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi dan pertambahan kemampuan ekonomi masyarakat terutama UMKM, sebagian besar yang ada di daerah “Bumi Lansek Manih” tercinta.

Dan bagaiamana realisasinya dapat dilakukan koordinasi dari SKPD/OPD dan pengambil kebijakan yang ada agar perumusannya serta pelaksanaannya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan bersama. Penulis adalah Ketua DPD PAN Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here