Minang Mart: Bisnis Ritel Berbasis Nagari
JURNAL SUMBAR | Sejenak melepaskan kecurigaan politis yang sangat spekulatif dan telaahan ideologi kapitas yang teoritis, saya menilai rencana pendirian 1000 Minang Mart di Sumatera Barat merupakan terobosan dan ide kreatif yang layak untuk didukung. Di tengah hujaman jaringan bisnis ritel nasional dan internasional yang sudah merambah ke pelosok-pelosok desa di Indonesia, rasanya Sumatera Barat hanya tinggal menunggu waktu saja untuk “diinvansi” oleh modal besar dari Jakarta. Lebih dahulu mengambil langkah-langkah strategis dengan menginisiasi mart lokal khas Minangkabau adalah langkah cerdik untuk menghadapi gelombang dan badai besar bisnis ritel.
Ketersohoran orang Minang dikenal oleh suku-suku bangsa lain di Indonesia sebagai etnik yang pandai dan lihai berdagang bisa menjadi modal awal untuk merealisasikan mimpi ini. Oleh karena itu memikirkan bagaimana langkah-langkah mewujudkan 1000 Minang Mart akan lebih produktif daripada sekedar melakukan resistensi dan penolakan tanpa alasan yang kuat.
Apabila telah terbentuk sebuah pemahaman kolektif bahwa melawan kapitalis haruslah dengan cara yang cerdas, penulis hendak memberikan sedikit sumbangan pemikiran bagaimana seharusnya Minang Mart dikelola, baik itu dari segi modal, karyawan, stok barang dan efek ekonomis kepada masyarakat setempat.
Angka 1000 menyiratkan bahwa di setiap nagari di Sumatera Barat akan berdiri 1 Minang Mart. Dengan meletakkan Minang Mart sebagai Badan Usaha Milik Nagari (BUMNg) atau Unit Usaha Nagari (UUN), sebenarnya pemerintah provinsi Sumatera Barat sebagai inisiator rencana ini tidak perlu mengundang investor dari Jakarta atau pemodal asing. Berangkat dari Undang-Undang Desa yang mengalokasikan dana pemberdayaan desa sebesar 1 Miliar setiap tahun ke setiap desa di seluruh Indonesia, sebenarnya ada sumber keuangan negara yang bisa dimanfaatkan oleh pengelolaan Minang Mart ini. Tingga kemudian aparat nagari dan desa bersama masyarakat di Sumatera Barat bersepakat untuk menjadikan “dana desa” sebagai modal awal pendirian Minang Mart di nagari nya.
Kemungkinan itu sangat besar dan tidak menyalahi aturan. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa dana desa bisa untuk membangun ekonomi lokal desa, misalnya dengan membuat BUMD(esa), menggerakkan sektor UMKM, membangun pasar desa dan sebagainya. Artinya, mengalokasi dana desa yang diterima oleh masing-masing desa di Sumatera untuk pendirian Minang Mart tidak beresiko melanggar hukum pidana, perdata maupun tata negara.
Keberadaan Minang Mart sebagai Badan Usaha Milik Nagari akan memberikan akses pekerjaan kepada anak-anak muda asli nagari tersebut. Ada banyak lini dan posisi yang dibutuhkan oleh sebuah ritel. Dari tukang parkir, driver, kasir, petugas kebersihan, akuntan, sales, pegawai promosi, sampai level manajerial. Ambil saja estimasi 1 unit ritel bisa merekrut 50 karyawan, jika ada 1000 Minang Mart, maka ada 50.000 lowongan kerja baru yang bisa dibuka di seluruh nagari di Sumatera Barat. Setahu saya, tidak pernah terjadi kuota CPNS untuk Sumatera Barat bisa mencapai angka itu setiap tahunnya.
Bicara masalah ritel tentu tidak bisa dilepaskan dari pasokan barang yang akan didisplay dan dijual kepada konsumen. Barang-barang kebutuhan rumah tangga yang sifatnya pabrikan sampai sekarang memang harus didatangkan dari pabrik-pabrik besar yang sudah punya nama di Indonesia. Tetapi masih banyak ruang-ruang yang bisa diberikan kepada industri-industri lokal baik itu makanan, sayuran, buah-buahan kerajinan tangan dan olahan-olahan kreatif lainnya. Betapa bahagianya kemudian para petani di berbagai daerah di Sumatera Barat ketika hasil panen mereka bisa segera diserap dan dibeli oleh 1000 Minang Mart yang ada. Saya membayangkan betapa bergairahnya pengusaha-pengusaha kecil kerajinan tangan ketika mereka diberikan kesempatan untuk memajang hasil karya mereka di 1000 toko yang dimiliki oleh Minang Mart.
Terakhir adalah soal sharing profil dan efek ekonomis yang akan didapatkan masyarakat dengan keberadaan Minang Mart. Skenarionya yakni dengan memposisikan seluruh warga masyarakat sebagai pemilik saham Minang Mart yang ada di nagarinya. Fenomena ini juga sedang merebak di berbagai perusahaan di Amerika dimana mereka membagi-bagikan saham kepada karyawannya. Sehingga ketika SHU diumumkan karyawan tidak hanya melongo bisa melihat angka-angka pencapaian perusahaan, tetapi juga bisa menikmati sharing profit dari keuntungan bisnis yang mereka sendiri menjadi bagian dan berkontribusi dalam capaian itu. Keeksisan rumah makan padang di rantau juga tak lepas dari sistem bagi-bagi saham ini. Yang dikenal dengan nama “sistem mato”. Ketika seluruh masyarakat dilibatkan, akan tumbuh semangat memiliki. Yang selanjutnya akan menegasinya prospek suram Minang Mart dari sepinya pembeli.
Hal lain yang perlu mendapatkan porsi pemikiran yang besar adalah bagaimana kemudian masa depan keberadaan warung-warung kecil yang sudah bertahun-tahun ada dan menggantungkan pendapatnya dari transaksi dari tetangga. Sangat besar kemungkinan usaha mereka akan tutup dan kalah bersaing. Penulis punya dua solusi untuk persoalan ini. Pertama, pengambil kebijakan bisa memberikan prioritas utama kepada warung-warung kecil yang berada di sekitaran Minang Mart untuk diangkat sebagai karyawan. Kedua, perlu dilakukan diferensiasi barang dagangan antara Minang Mart dengan warung-warung kecil yang ada. Sehingga tidak terjadi perebutan pasar yang pada akhirnya akan melukai perasaan dan mengurangi pendapatan pemilik warung-warung kecil yang selama ini sudah eksis di nagari tersebut.
Membawa nama “Minang”, rasanya akan hambar apabila Minang Mart tak lebih dari brand-brand ritel yang sudah ada selama ini. Menghadirkan suasana lapau di Minang Mart lewat pemberian space-space tempat duduk yang memungkinkan orang untuk saling bercengkrama, berdiskusi dan “maota” bisa menjadi icon “keminangan” ritel ini.
Saya pribadi merasa optimis apabila 1000 Minang Mart ini dapat diwujudkan, ekonomi Sumatera Barat akan bangkit dalam beberapa tahun ke depan. Dan bukanlah hal mustahil apabila kemudian 1000 Mart bisa menggeliat menjadi 10000 Mart dan invasi ke luar Sumatera Barat sangat memungkinkan. Untuk kemudian mengulangi kejayaan dan ketersohoran Rumah Makan Padang di perantauan.
*Alumni Filsafat UGM
Direktur Institute of Minangkabau Studies