oleh Sultan Kurnia AB
“SECARA teori memiliki potensi kematian paling banyak oleh COVID19, tapi nyatanya jumlah orang meninggal di Negeri Samurai ini salah satu terendah di Dunia. Budaya hidup bersih dan mematuhi aturan menjadi kunci utama kesuksesannya. Dari negara ini, kita juga belajar bahwa ekonomi yang terpuruk dapat dibangkitkan, tapi nyawa yang melayang tidak dapat dikembalikan. Karena itu, Jepang memilih utang luar negeri yang menumpuk dan menghadapi resesi ekonomi dari pada kehilangan rakyatnya lebih banyak.”
Selama Pandemi COVID19 ini, beberapa kawan di Indonesia dan keluarga di kampung halaman, Lubuk Tarok, bertanya kepada saya “Bagaimana kondisimu, dan situasi di Jepang?” Atas dua pertanyaan yang sering dilontarkan itu, saya selalu memberikan jawaban yang sama “Alhamdullilah, saya baik dan situasi di sini juga normal, hanya sekolah dan beberapa kantor diliburkan.” Namun setelah itu ada juga yang bertanya lebih kritis, “bagaimana penanganannya (Covid19) di sana, apakah ada PSSB juga?”.
Nah, untuk pertanyaan ini saya beberapa kali agak terdiam lama. Terdiam bukan karena tidak ada jawaban, tapi berusaha menemukan kata-kata sederhana untuk menjelaskannya.
Selain itu saya juga kadang tersenyum sendiri ketika mendengar pertanyaan itu, karena setelah 2 tahun tinggal di Jepang, saya merasa dalam kondisi PSBB terus. Loh, maksudnya PSBB terus? Ya, situasi di mana masyarakat Jepang sehari-harinya tidak pernah bersalaman dan berangkulan, sebagian besar selalu menggunakan masker, jarang berkumpul dalam jumlah yang banyak dan tetap menjaga jarak, serta yang pasti selalu hidup bersih seperti kebiasaan cuci tangan, melepas sepatu masuk ke dalam rumah, dan kebiasaan membersihkan rumah dan pekarangan. PSSB di negara kita kurang lebih begitu kan? Oleh karenanya, setiap ada yang bertanya tentang bagaimana penanganan COVID19 di Jepang saya selalu menjawab, “sangat baik, tidak terlalu ketat, kesadaran masing-masing-masing.”
Jepang merupakan salah satu negara tersukses dalam mengangani virus yang berawal dari Wuhan itu. Rata-rata jumlah kematian di Jepang terendah jika dibandingkan negara lain. Per har ini tercatat hanya 985 orang meninggal di Jepang, sedangkan di Indonesia mencapai 4.239, di Amerika bahkan 143.000 lebih. Padahal secara teori, Jepang adalah negara di dunia yang berpotensi besar mengalami jumlah kematian akibat COVID19 karena banyaknya masyarakat lansia.
Selain kebiasaan hidup bersih masyarakat Jepang, ada banyak cara lain yang dilakukan pemerintah Jepang sehingga terbilang sukses meminimalisir dampak COVID19. Sebagai contoh pada aspek kesehatan, pemerintah jepang memilih lebih fokus pada orang-orang yang sudah pasti positif lalu menyelamatkan nyawa sebanyak-banyaknya.
Mereka menghindari habisnya dana, waktu dan fikiran untuk orang-orang yang belum pasti terpapar virus. Oleh karena itu, banyak orang yang ingin melakukan pemeriksaan ke Rumah Sakit selalu ditolak jika belum memiliki tanda-tanda yang sifinifikan terpapar virus. Mereka lebih menyarankan untuk calon pasien melakukan isolasi diri dan mematuhi semua protokol yang terapkan. Sekilas cara seperti ini dipandang tidak normal dan terkesan lalai, tapi sebenarnya Jepang melakukan upaya yang efektif, di mana dana, fikiran dan tenaga medis fokus bekerja menyelamatkan nyawa sebanyak-banyaknya. Sedangkan mereka yang berstatus ODP diminta isolasi diri dan tidak membahayakan orang lain dengan kesadaran sendiri, bukan paksaan.
Pada aspek ekonomi, kebijakan Jepang juga dipuji. Bagaimana tidak, ada banyak jenis bantuan baik dan tunai maupun barang yang disalurkan kepada masyarakat. Sebagai contoh, bantuan langsung tunai sekitar 14juta per orang. Uang itu dikirim langsung dikirim ke rekening bank dan semua penduduk Jepang mendapatkannya, baik kaya atau miskin.
Hanya saja pemerintah memberikan pilihan, apakah masyarakat ingin menerimanya atau tidak, tergantung kesadaran masing-masing masyarakatnya. Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi membayar apartemen kepada masyarakat secara penuh maupun setengah, bantuan dana tunai untuk sewa toko, gaji karyawan dan biaya produksi kepada perusahaan besar, menengah hingga kecil.
Bantuan tunai juga diberikan kepada mahasiswa yang kesulitan membayar SPP atau melanjutkan studinya, besarannya mencapai 15-30 juta per mahasiswa. Tentu bantuan itu semua bertujuan agar masyarakatnya tetap bisa makan, dan tidak ada yang diusir dari apartemennya karena tidak bisa membayar, tetap lanjut sekolah dan usaha mikro dan menengah tetap berjalan. Mungkin ada yang bertanya, apakah semua bentuk bantuan itu juga diterima orang asing di Jepang? Jawabannya iya, semua orang asing yang memiliki KTP Jepang berhak mendapatkannya, termasuk kami mahasiswa asal Indonesia.
Namun, dengan jumlah bantuan yang banyak seperti itu, Jepang harus mengeluarkan uang yang fantastis. Total anggaran Jepang hanya untuk menangani COVID19 hingga bulan Juni adalah sekitar 16.000 Triliyun. Jumlah itu lebih besar dari APBN nya tahun lalu yakni sekitar 12.000Triliyun. Mungkin ada yang berpikir, ya wajar Jepang bisa maksimal mengani virus dan membantu masyarakatnya karena negara kaya dan memiliki banyak uang, beda dengan negara kita Indonesia. Jika ada yang berpikir demikian, maka Anda salah. Jumlah anggaran 16.000 T diatas sebagian besar didapatkan Jepang dari pinjaman luar negeri. Secara nasional, ekonomi jepang sebenarnya sangat terdampak oleh pandemi ini bahkan Jepang disebut-sebut telah masuk kepada Jurang resesi.
Secara ringkasnya, resesi adalah pertumbuhan ekonomi sebuah negara minus berturut-turut dalam dua kuartal terkahir. Dan secara teori, resesi sangat membahayakan ekonomi sebuah bangsa. Namun, banyak ahli memprediksi Jepang akan cepat bangkit dari resesi jika ekonomi dunia nanti kembali membaik. Hal itu disebabkan oleh pondasi ekonomi Jepang sudah cukup kuat secara nasional maupun global dan dalam perjalanan sejarahnya Jepang terbukti mampu pulih dari resesi dengan cepat bila dibandingkan negara lain.
Melihat upaya Jepang dalam mengani Pandemi Covid19, maka ada dua hal utama yang menjadi kunci kesuksesannya. Pertama, masyarakat Jepang memiliki budaya hidup bersih dan mematuhi aturan yang telah mengaku kuat. Kedua, kerja keras dan keberpihakan pemerintah dalam membantu masyarakatnya, terlepas dari banyaknya utang luar neger jepang dan resesi ekonomi yang sedang dihadapi. Dalam rangka mengangani covid19, PM Jepang bahkan dilaporkan mengorbankan banyak waktu istirahatnya, sehingga juga berdampak pada kesehatannya.
Dari kasus ini, saya melihat para pejabat di Negara Jepang dan ASN nya memposisikan diri benar-benar sebagai pelayan masyarakat, bukan penguasa yang bertindak semana-mena dan hanya mementingkan kelompok tertentu atau kalangan elit. Bahwa pemimpin itu bekerja bukan hanya menyuruh, bukan hanya penuh wacana tapi minim aksi. Benar kata Agus Salim, pemimpin itu menderita. Bukan hidup dengan segala kemewahan.
(penulis adalah; Mahasiswa Five-Year PhD Taoyaka Program, Hiroshima University, Jepang asal Lubuktarok Sijunjung, Sumbar, putra dari Raja Jambu Lipo)