Minangkabau yang Berubah: Melampaui Trilogi Mamak, Amak, dan Anak Kamanakan
JURNAL SUMBAR | Matriakhat Minangkabau menempatkan 3 aktor utama dalam menjaga tradisi dan budayanya. Mamak yang merupakan saudara laki-laki ibu menjadi orang yang memegang peran vital dalam negosiasi eksternal sebuah keluarga. Meskipun Minangkabau memberikan porsi yang sangat besar kepada perempuan, tetapi itu lebih kepada ranah domestik. Fungsi eksternal yang diberikan kepada laki-laki ini bisa dipahami dikarenakan situasi alam dan hubungan antar manusia rentan dengan berbagai dinamika dan konflik yang seringkali membutuhkan kelihaian untuk bernegosiasi bahkan tak jarang harus menggunakan kekuatan fisik. Dikarenakan menjaga kehormatan keluarga merupakan sesuatu yang sangat vital dalam keluarga matriakhat, pengandalan kepada sosok laki-laki yang “saparuik” (mamak) telah membuat kaum laki-laki di Minangkabau menjadi tumpuan keluarga batihnya, dan secara otomatis berpengaruh kepada ketersediaan waktu dan pikiran untuk keluarga yang ia bangun di kaum lain karena ketentuan perkawinan eksogami dalam tradisi Minangkabau.
Pola trigular yang bertumpu kepada Mamak ini juga mencakup kepada penjagaan kepada “tanah keluarga” yang merupakan harta milik bersama “urang saparuik”. Tersebab secara historis masyarakat yang tinggal di dataran tinggi melakukan sistem survival memanfaatkan kekayaan alam, maka “tanah keluarga” itu sebagian besar digunakan sebagai “lahan produksi” berupa sawah dan ladang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Kaum ibu memiliki porsi yang besar dalam proses-proses produksi untuk penyediaan kebutuhan bagi keluarga ini. Dalam masyarakat agraris, kebutuhan sandang, pangan dan papan sebenarnya telah tercukupi dengan hasil pertaniannya yang ada. Persoalan hanya muncul ketika paceklik diakibatkan faktor alam, misalnya serangan hama kemarau panjang, letusan gunung atau hujan badai yang membuat gagal panen.
Sementara anak-anak dalam keluarga saparuik sesungguhnya mendapatkan treatment pengasuhan dari keluarga matrilinealnya, dari ayahnya dan dari institusi pendidikan Islam masyarakat Minangkabau yang bernama surau (semenjak pertengahan abad 19, ada pengaruh kehadiran Sekolah Kolonial Belanda).
Menempatkan pola trigular ini sebagai pakem mati dan hidupnya Minangkabau menurut saya terlalu menyederhanakan eksistensi masyarakat Minangkabau. Matrilineal tidak bisa semata-mata dipahami hanya pada keutuhan pola Ba-amak Ba-mamak, Ba-ranak/Ba-kamanakan saja. Saya lebih memandang pola matrilineal kepada pola pertahanan kebudayaan yang paling kuat terhadap fenomena poligami yang sejak zaman sebelum masehi telah menjadi “nature” seorang laki-laki. Hak anak harus mendapatkan jaminan yang jelas dan kejelasan itu mendapatkan tempat terbaik dengan pola matrilineal. Karena untuk melakukan perlawanan terhadap poligami di zaman dahulu (termasuk juga di zaman sekarang) masih membutuhkan energi ekstra. Hal kedua, matriakhat mestinya dipahami sebagai perlindungan terhadap kepastian “kepemilikan properti” oleh perempuan dikarenakan sifat umum perempuan yang secara fisiologis lebih lemah dari laki-laki. Perempuan diberikan hak kepemilikan bukan menjadi “properti” yang dimiliki oleh laki-laki.
Dua semangat ini menjadi penting untuk menghadapi berbagai perubahan sosial dan kecenderungan migrasi orang Minang yang sangat kuat. Dr. Saafroedin Bahar malah memberikan kategori sub-etnik bagi Minangkabau, Minang Ranah dan Minang Rantau. Minang Ranah tidak lagi dipahami sebagai orang Minang yang tinggi di daerah 3 luhak, tetapi orang Minang yang tinggal di wilayah pemerintahan Sumatera Barat. Sedang Minang Rantau adalah orang Minang yang tinggal di luar kawasan administratif Sumatera Barat. Persebaran orang Minang di berbagai penjuru dunia merupakan sebuah keniscayaan dari sebuah gerak masyarakat yang terbuka dan dinamis. Mobilisasi itu bisa karena faktor politis, ekonomis, edukatif ataupun karena faktor-faktor birokratis.
Keniscayaan orang Minang untuk meninggalkan kampung halaman mau tidak mau membuat pola trigular tradisional Amak, Mamak, Anak/Kamanakan yang sangat mengandalkan kehadiran secara fisik itu berubah. Apalagi kemudian peluang-peluang kerja yang baru telah dibuka dengan kedatangan kolonial Belanda. Dari juru tulis, penjaga gudang, mekanik kereta api, guru, bahkan sosok seperti Agus Salim yang mendapatkan pendidikan Belanda dipercaya sebagai “atase” haji Hindia Belanda di Saudi Arabia. Migrasi di zaman alat komunikasi dan transportasi nir batas, memang telah memudarkan pola trigular tradisional agraris itu. Konsepsi tentang alat-alat produksi tidak lagi terbatas pada sawah dan ladang. Tetapi perniagaan, kerja-kerja profesional yang membutuhkan keterampilan/keahlian ilmu modern dan jabatan birokratis telah menjadi lumbung pendapatan baru tidak hanya bagi laki-laki tetapi juga perempuan. Mamak-mamak potensial mengembara ke rantau orang dan sangat jarang untuk pulang kampung. Kadang dibawanya juga anak dan istrinya yang otomatis menempati rumah baru di rantau orang. Tetapi apakah serta merta gaya berkeluarga baru di daerah baru itu membuat mereka “tidak lagi menjadi orang Minang”???
Ayah kemudian mengambil porsi yang besar dalam memenuhi kebutuhan perempuan (Istrinya) dan anak-anak. Di rantau mereka tidak punya “tanah pusaka”. Lagian rata-rata para perantau Minang telah meninggalkan profesi sebagai petani. Tetapi perhatikan ketika persoalan terjadi dalam bahtera rumah tangga perantau Minang itu, Mamak mereka datang untuk menyelesaikan persoalan. Ketika ada masalah harta pusaka di kampung, oleh Mamak yang berada di kampung, kamanakannya yang ada di perantauan juga tetap dipanggil atau minimal dikasih tahu. Artinya, spirit matrilineal yang menempatkan perempuan sebagai “pemilik” waris harato pusako dan mamak sebagai “penjaga” marwah keluarga tetap hidup sampai sekarang. Meskipun tidak bisa juga kita pungkiri bahwa banyak kasus dimana mamak telah menjadi makelar penjual harato pusako. Ini hal serius yang perlu mendapatkan solusi aplikatif (misalnya, kalau Mamak itu miskin, bisa dilakukan program-program pemberdayaan secara ekonomi dengan membuka lapangan kerja buat mamak-mamak yang miskin. Kalau misalnya mamak itu telah kaya, tetapi masih suka juga menjual harta pusaka, maka diperlukan bimbingan atau penyadaran – kehadiran institusi judicial terkait pengelolaan harta pusaka kaum dalam nagari perlu juga dipikirkan agar harato pusako tetap bisa terjaga dan tidak diperjual-belikan).
Memakai analogi bahwa Minangkabau itu terdiri dari jasad dan ruh, maka saya membuat ada 2 indikator “Minangkabau” itu masih bereksistensi. Identitas etnik tidak bisa dilepaskan dari faktor fisiologis yang merunut kepada pertalian darah. Penelitian kedokteran mutakhir menyebutkan bahwa dalam tubuh seseorang ada beberapa jenis gen dari berbagai ras manusia. Jadi tidak ada seseorang yang memiliki darah murni dari 1 ras saja. Tetapi ada ras dominan yang terlihat pada struktur DNA-nya. Meskipun di Minangkabau sendiri telah terjadi perkawinan campur selama ribuan tahun, tetapi ada sebuah kesepakatan tak tertulis yang berlaku dalam masyarakat Etnik Minangkabau, ketika sang Ibu berdarah Minang, maka anaknya tetap bersuku Minang. Secara tak sadar, sebenarnya status orang “berdarah” Minang itu tetap terpelihara sampai sekarang.
Seperti 1 mata uang yang terdiri dari 2 sisi, identitas “darah” ini juga tak bisa dilepaskan dari identitas “nilai-nilai”. Kepatuhan kepada norma-norma adat yang secara turun-temurun diajarkan dan ketaatan kepada syariat Islam menjadi indikator untuk level “keminangan” seorang individu. AA Navis membagi kepatuhan kepada identitas “nilai-nilai” dengan 4 istilah Urang sabana Urang, Takah Urang, Angkuh Urang, Urang-urang. Ketika seorang individu “berdarah” Minang dengan sungguh-sungguh menjalankan aturan-aturan itu dengan baik, maka ia bisa dikatakan “Minang 24 karat”. Tetapi identitas keminangan itu bisa hilang serta-merta ketika seorang mencampakkan Islam dan berpindah ke agama lain.
Level identitas “darah” itu sifatnya mutlak. Karena meskipun ada orang Bule yang berperilaku, berbudaya bahkan bisa juga berbahasa Minang, tetapi ia tidak bisa dikatakan sebagai “Urang Minang”. Tetapi ia bisa melakukan proses “malakok” untuk mendapatkan hak-hak tertentu dalam adat Minankabau. Sementara level identitas “nilai-nilai” sifatnya itu fluktuatif tergantung kepada ketaatan kepada norma-normat budaya Minangkabau. Dalam bahasa matematis, kita bisa menempatkan derajat identitas “nilai” ini pada angka 0-100.
Sebuah masyarakat etnis masih punya peluang untuk bertahan bahkan melakukan loncatan peradaban ketika ia masih bisa melacak jejak-jejak historis dan mewarisi nilai-nilai nenek moyangnya. Polanya tidak harus kaku seperti masa lampau. Tetapi revitalisasi dan fleksibilitas untuk mendefinisikan konsep-konsep utama dalam budayanya sesuai dengan tantangan dan dinamika kekinian. Pola trigular matriakhat tradisonal agraris Ba-Amak, Ba-Mamak, Ba-ranak/Ba-kamanakan sangat bisa diluaskan pada hakikat yang lebih mendasar yaitu “kepemilikan” perempuan dan penjagaan akan hak-hak perempuan.
penulis: Alumni Filsafat UGM – CEO Gre Publishing – Delegasi Indonesia untuk Frankfurt Book Fair – Pengurus Ikatan Cendikiawan Muslim se- Indonesia – Usia 32 tahun – 15 tahun merantau di Yogyakarta