Soal Hak Angket, Alumni Fakultas Hukum UBH Padang: DPR RI Lemahkan KPK

JURNAL SUMBAR | Padang – Kisruh soal Pansus Hak Angket yang digulirkan DPR RI terhadap KPK membuat gerah Alumni Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Padang. Berikut rilis dari yang bersangkutan:

Pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus  saja berlangsung seperti yang dikakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam bentuk penggunaan Hak Angket.

Penggunaan Hak Angket tersebut mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk dari para pegiat anti korupsi dan akademisi. Perdebatannya adalah apakah Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket yang dibuat oleh DPR RI berwenang atau tidak memeriksa KPK terutama berkenaan dengan kasus yang sedang dalam proses penyidikan, yaitu kasus korupsi penggadaan E-KTP.

Membaca Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang menyebutkan: “Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”, maka secara hukum yang menjadi objek Hak Angket adalah kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian.

Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), KPK adalah lembaga negara yang yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam penjelasan Pasal tersebut, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individu dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban KPK dalam menjalankan tugasnya sudah disebutkan di dalam Pasal 20 UU KPK, yaitu: “Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan”.

Sementara itu, soal pertanggungjawaban publik KPK dilaksanakan dengan cara: a. wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya; b. menerbitkan laporan tahunan; dan c. membuka akses informasi.

Bahwa dalam praktiknya, apa yang dilakukan oleh Pansus Hak Angket tersebut tidak bisa dibantah telah mempengaruhi proses penyidikan yang sedang dilakukan KPK dalam kasus korupsi penggadaan E-KTP. Pasalnya, saat ini beberapa nama anggota dan mantan anggota  DPR RI disebut-sebut menerima aliran dana E-KTP.

Oleh karena itu, Pansus Hak Angket yang bersikukuh mengatakan mempunyai kewenangan memanggil pimpinan KPK sebagaimana menurut Pasal 79 ayat (3)  UU MD3 adalah keliru, karena hak angket tersebut melakukan penyidikan pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau “kebijakan yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat”. Dalam konteks ini, terlalu berlebihan mengatogerikan kasus korupsi yang melibatkan beberapa oknum anggota dan mantan anggota DPR RI tersebut sebagai kasus yang penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat.

Sebagai lembaga negara, KPK yang diberi kewenangan yang luas dibanding lembaga penegak hukum lainnya tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan, namun kekurangan tersebut bukan berarti KPK harus diamputasi atau dilemahkan. Sebagai lembaga yang masih diharapkan oleh masyarakat, KPK harus terus didukung dan diawasi supaya menjadi lembaga anti korupsi yang lebih kuat dan tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirugikan dan menjadikan alasan untuk melemahkan KPK.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami Ikatan Keluarga Besar Alumni Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, menyatakan :

1. Menolak penggunaan Hak Angket DPR RI terhadap KPK, karena selain bertentangan dengan UU, hal ini juga sangat tidak elok dalam upaya bangsa ini memberantas korupsi karena bisa meninggalkan preseden buruk dimana DPR RI akan membentuk Pansus ketika kolega mereka dijadikan tersangka oleh KPK;

2. Menolak segala bentuk dan upaya pelemahan KPK;

3. Mendukung upaya perbaikan terhadap beragam kekurangan dalam pelaksanaan kewenangan KPK dengan mendorong pembentukan pengawas independen KPK.

Demikian disampaikan, terima kasih.

Padang, 15 Juli 2017
Hormat Kami
IKB Alumni FH UBH

Miko Kamal, S.H., LL.M., Ph.D.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.