JURNAL SUMBAR | Dharmasraya – Ini cerita tentang Dusun Padang Sari, tempat Mbok Suripah, Pak Bakri, Buk Marmi, anak-cucu dan ratusan tetangga mereka tinggal dan hidup. Cerita dusun kecil yang berjarak 9 km dari lintas sumatera, dari simpang Sikabau. Dulu, orang-orang menyebut kampung ini dengan sebutan Mindawa, akronim dari Minang, Sunda, Jawa. Kampung dengan wujud keberagaman Dharmasraya yang nyata.
Tahun 1982 kampung ini mulai didiami oleh sekitar 250 kepala keluarga melalui program transmigrasi, masyarakat sekitar menyebut kampung itu Sitiung V atau Bukit Mindawa. Kemudian Bukit Mindawa dibagi menjadi dua jorong; jorong bukit mindawa masuk ke nagari sikabau dan jorong padang sari ke nagari tebing tinggi.
Jorong Bukit Mindawa sedikit lebih beruntung dibanding Padang Sari. Program tanam padi sebatang yang dicanangkan di jorong itu ditilik oleh Presiden ke-6 RI, Presiden SBY. Menjelang kedatangan SBY ketika itu, jalanan tanah di kampung itu disulap menjadi jalanan aspal hitam yang tebal. Listrik menyala. Sedang padang Sari, masih berjalan di antara kubangan lumpur.
“Sejak 1982 kami menginginkan jalan ini keras, setidaknya agar sepatu anak-cucu kami tidak berlumpur ketika pulang sekolah”, mbok Suripah menutur dalam bahasa jawa kromo inggil.
Keinginan Mbok Suripah baru terjawab 37 tahun sejak kedatangannya pertama kali di Pulau Malayu ini, di tahun 2019. Setelah begitu banyak perubahan terjadi, dari Pemerintahan Desa ke Nagari, Orde lama ke reformasi, Sijunjung menjadi Dharmasraya dan beberapa periode pergantian Bupati di Dharmasraya. “Alhamdulillah terwujud. Saya masih menyaksikannya”, lanjut Mbok Suripah, masih dalam bahasa Jawa Kromo Inggil yang sebenarnya susah untuk diterjemahkan, disambut dengan anggukan pelan buk Marmi yang duduk di sebelahnya.
“Ketika itu telah sangat larut, mas, ketika saya ditelpon pak wali jam 12 malam. Saya kaget. Kenapa pak wali nagari menelpon malam-malam. Kata pak wali, saya sedang bersama pak bupati. Lalu memberitahu bahwa jalan poros di Padang Sari ini akan diaspal”, pak Bakri menutur dengan terbata. Terdiam agak lama. “Terharu saya, mas. Jam segitu pak wali dan pak bupati masih memikirkan kami. Terharu juga karena apa yang kami inginkan akan segera terwujud”, lanjut Pak Bakri sambil menyeka kedua matanya dengan punggung tangan.
22 November 2019. Warga Padang Sari berkumpul di jalanan yang baru diaspal. Suara tawa dan tangis bayi dalam gendongan ibunya-pun turut meramaikan suasana. Ibu-ibu meneteng rantang penuh makanan. Bapak-bapak membentangkan lapik yang dibawa dari rumah di ujung jalan, depan poskesri Padang Sari. “Kita akan syukuran dan makan-makan di sini”, kira-kira itu bahasa yang diucapkan oleh seluruh warga yang hari itu memasang wajah gembira.
Jam 10 pagi, Pak Bupati dan rombongan datang. Buk camat dan pak Wali Nagari yang lebih dulu tiba di lokasi syukuran menyambut Pak Bupati bersama warga. Warga yang hadir membuat dua barisan panjang,. Dalam barisan terlihat Mbok Suripah yang ikut berdiri dengan punggung yang sedikit membungkuk, buk Marmi yang entah menggendong siapa (mungkin cucunya) dan Pak Bakri yang hari itu mengenakan setelan baju koko dan kopiah hitam dan sangat gagah. Pak Bupati berjalan bergantian di dua sisi barisan panjang, menyalami semua yang hadir, termasuk anak-anak yang bersalaman dengan malu-malu. Anugerah Pencipta yang tampak jelas di kampung Padang Sari pagi itu, adalah wajah-wajah yg dihiasi senyum ssenyum manis nan sumringah.
Acara syukuran berjalan. Khidmat. Tapi entah, bagi saya yang turut hadir di acara ini, wajah-wajah bahagia semua orang jauh lebih menarik perhatian saya dibandingkan kegiatan yang dilaksanakan. Akhirnya, setelah doa-doa, tumpeng dipotong pak Bupati, dberikan kepada warga. Lalu, rantang-rantang dibuka dan dikembangkan, semua makan bersama; di jalanan, di jalan aspal baru.
Saya mendekat ke mbok Suripah. Mbok senyum. Singgahlah ke rumah, katanya. Sering-seringlah main ke sini. Jalan sudah bagus kan? Jangan lagi takut kalau motormu nanti tergelincir dan masuk lumpur ketika ke ketika ke Padang Sari ini.
Iya, mbok. Sebenarnya saya berkata. Tapi entah, kata-kata saya keluar tanpa suara. Leher tercekat. Mata saya pedih. “Saya turut bahagia, mbok”, saya berujar kepada si mbok. Lagi-lagi, tanpa suara.humas
editor;saptarius