JURNAL SUMBAR | May Day atau hari buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei selalu menjadi perhatian saya. Karena, saya sudah lumayan lama ikut mengadvokasi pekerja outsourcing di Sumatera Barat, khususnya pekerja kebersihan. Kini, pekerja kebersihan outsourcing (kontrak alih daya) di kantor-kantor pemerintah dan swasta masih “terjajah”. Karena, hak-hak dasar mereka belum dipenuhi sebagaimana mestinya.
Saya sangat setuju dengan tuntutan HOSJATUM yang diajukan pekerja Indonesia pada momen May Day tahun 2017 ini. Dimana, HOS adalah singkatan dari hapuskan outsourcing dan permagangan. JA adalah jaminan sosial, yakni jaminan kesehatan gratis dan jaminan hak pensiun seperti PNS. Dan, TUM adalah tolak upah murah.
Sama dengan daerah lain, Pemprov Sumbar dan pemkab/pemko se Sumbar serta instansi vertikal, termasuk perusahaan BUMN/BUMD dan swasta juga mengontrakan sebagian kegiatannya kepada perusahaan penyedia tenaga kerja. Namun, hak-hak dasar pekerja yang dipekerjakan masih terabaikan. Dan, yang paling banyak bermasalah adalah pekerjaan outsourcing atau alih daya di bidang kebersihan.
Khusus masalah pekerja kebersihan atau lebih dikenal dengan sebutan klening servis di kantor-kantor pemerintah dan swasta, saya adalah salah seorang yang sering melapor ke Dinas Tanaga Kerja, baik di kabupaten/kota maupun provinsi. Khusus di Kota Padang, mungkin petugas pengawas ketenagakerjaan yang saya temui sudah bosan melihat saya. Namun, saya terus melaporkan pelanggaran-pelanggaran hak-hak dasar “tukang sapu” tersebut.
Tahun 2016 misalnya, upah minimum provinsi (UMP) Sumbar ditetapkan Rp 1.800.725,- per bulan. Tapi, sebagian besar pekerja kebersihan hanya menerima upah atau gaji Rp1.400.000,-, bahkan ada yang Rp1.200.000,-. Sementara, perusahaan yang mempekerjakan mereka sudah dikontrak kantor pemerintah tersebut harus membayar gaji pekerjanya sesuai UMP. Parahnya lagi, mereka juga tidak diikutkan program BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Sama dengan tahun-tahun sebelumnya, persoalan hak-hak dasar pekerja kebersihan ini terus saya laporkan ke Dinas Tenaga Kerja. Bahkan, persoalan ini juga pernah saya laporkan ke Ombudsman Perwakilan Provinsi Sumbar atas kuasa para pekerja. Namun, hasilnya masih nol besar. Para pekerja tersebut masih “dijajah” oleh perusahaan yang mempekerjakannya. Gaji tetap di bawah UMP dan tidak dapat kartu BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Tahun 2016, saya konsen mengadvokasi pekerja kebersihan outsourcing di Kantor Gubernur Sumbar, Mapolda Sumbar, DPRD Sumbar, Balaikota Padang dan RSUP M Djamil Padang. Khusus di kantor Gubernur, bahasa saya kepada pejabat penanggungjawab pengelolaan kebersihan kantor tersebut adalah,
“Bagaimana bisa ketentuan UMP yang ditandatangani oleh Gubernur itu ditaati oleh instansi lain kalau di kantor Gubernur saja tidak berlaku?”.
Alhamdulillah, advokasi saya kepada para pekerja kebersihan tersebut sedikit membuahkan hasil. Di RSUP M Djamil misalnya, dari gaji Rp1.400.000,- bisa naik menjadi Rp1.600.000,- dan kemudian naik lagi menjadi Rp1.730.000,- setelah dipotong iyuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Dan, kekurangan gaji bulan pertama, kedua dan ketiga sebesar Rp800.000,- akhirnya dibayar perusahaan bersangkutan Rp400.000,- setelah disepakati oleh para pekerja.
Kini, laporan persoalan hak “tukang sapu” Mapolda Sumbar tahun 2016 sedang diproses oleh Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumbar. Walau terasa lamban, saya terus mengawal laporan para pekerja yang hak-haknya “dirampok” oleh perusahaan yang mempekerjakannya tersebut. Target saya adalah, kekurangan hak-hak pekerja tersebut harus dibayarkan sebagaimana mestinya, dan perusahaan tersebut harus diberi sanksi sesuai aturan yang berlaku sebagai efek jera.
Pantauan awal tahun 2017, gaji “tukang sapu” di kantor-kantor pemerintah tersebut masih banyak yang di bawah UMP 2017. Dan, masih banyak yang belum diikutkan program BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Persoalan ini juga sudah saya laporkan ke Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumbar, Dan, petugas pengawas ketenagakerjaan juga sudah turun ke lapangan. Namun, sepertinya para petugas yang diturunkan tersebut “tak bertaji dan tak bernyali”.
Padahal, dengan instrumen hukum yang ada, mestinya para pengusaha nakal tersebut bisa ditundukan dengan mudah. Karena, sesuai Pasal 90 dan 185 Undang Undang Nomor 13 Tahun 203 Tentang Ketenagakerjaan, pengusaha yang membayar upah pekerjanya di bawah ketentuan UMP bisa dipidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.
Di momen May Day ini, saya menghimbau para pengusaha yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja kebersihan outsourcing menunaikan kewajibannya sesuai aturan yang berlaku. Bayarlah gaji pekerja sesuai ketentuan UMP tahun 2017, yakni sebesar Rp1.949.248,- per bulan, dan ikutkan mereka program BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Dan, petugas pengawas ketenagakerjaan juga dihimbau untuk terus meningkatkan pengawasannya secara maksimal.
Di momen May Day ini, saya juga berharap kepada kepala OPD dan pimpinan perusahaan BUMN/BUMD serta swasta untuk ikut mengawasi perusahaan yang dikontrak untuk pekerjaan alih daya tersebut. Dan, saya berharap sekali tak ada lagi kalimat, “SK Gubernur tentang UMP tak berlaku di Kantor Gubernur dan kantor-kantor pemerintah lainnya”. Karena, negara sudah memberi peluang menganggarkan biaya untuk komponen hak-hak pekerja bersangkutan sesuai ketentuan UMP dan program jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan.
Stop penjajahan tukang sapu. Selamat May Day. Semoga pekerja kebersihan bisa mendapatkan hak-hak dasarnya sesuai aturan yang berlaku. Wasalam. Novermal Yuska (Penulis adalah Pemimpin Redaksi Portal Berita Jurnal Sumbar di Padang, Sumatera Barat)