JURNAL SUMBAR | Ilmu atau pengetahuan adalah wujud dari aktivasi nikmat Allah berupa otak. Otak kita diciptakan Allah, berfungsi untuk berpikir, mengingat, menafsirkan, menganalisa, menginterpretasikan banyak hal. Adalah wujud syukur kepada Allah, jika manusia menggunakan otaknya seoptimal mungkin, untuk kemaslahatan baik bagi dirinya maupun orang lain.
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman,
قُلْ هَـذِهِ سَبِيْلِى أَدْعُواإِلَى اللهِۚ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِىۖ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku yang lurus, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu.’” (QS. Yusuf: 108)
Demikianlah Allah telah memerintahkan kepada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam untuk mengajak seluruh umatnya untuk bertawakkal kepada Allah, dan senantiasa menggunakan akal dan keilmuannya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, menjalankan semua perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, menegaskan dalam sabdanya
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ .
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (Riwayat Ibnu Majah)
Dalam firman Allah dan hadits Rasulullah terdapat pembelajaran kehidupan yang paripurna bagi manusia. Di dalamnya banyak rahasia kehidupan dan dunia, yang dapat membimbing kita untuk memperkuat keimanan kita. Tapi, jika manusia, orang yang beriman malas dalam membacanya, mengkajinya dengan panduan ilahiyyah yang benar, maka rahasia-rahasia tersebut sulit diungkap.
Bahkan seorang nonmuslim seperti Albert Einstein pun pernah mengatakan “Science without religion is lame, religion without science is blind.”, yang artinya Ilmu pengetahuan tanpa ilmu agama akan lumpuh, ilmu agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta. Secara keimanan kita, bisa kita katakan bahwa ilmu pengetahuan dapat digunakan untuk semakin menguatkan dasar-dasar keagamaan yang sudah disampaikan secara tersirat dalam Al Qur’and an Hadits.
Ilmu adalah sayyidul ‘amal (penghulunya amal), sehingga tidak ada satu amalan pun yang dapat dilakukan dengan benar, tanpa didasari dengan ilmu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah yang telah disepakati ummat,
اَلْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ .
“Ilmu dahulu sebelum berkata dan berbuat.” (Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ilmu)
Dalam kitab Majmu’ Fatawa, bahwa Yahya bin ‘Ammar rahimahullah mengatakan ilmu itu ada lima (jenis),
1. Ilmu yang menjadi ruh (kehidupan) bagi agama, yaitu ilmu tauhid;
2. Ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna-makna Al-Qur’an dan hadits;
3. Ilmu yang menjadi obat (penyembuh) bagi agama, yaitu ilmu fatwa.
4. Ilmu yang menjadi penyakit dalam agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah;
5. Ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang semisalnya.
Maksudnya, kita dalam menuntut ilmu tidak bisa sembarangan, dan harus sesuai dengan kebutuhannya. Jangan sampai menuntut ilmu yang malah menjerumuskan kita pada kesesatan, kebingungan, dan membiaskan hati kita dari keimanan dan ketakwaan.
Rasulullah sudah memberikan panduan dalam menuntut ilmu
إِنِِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan di antara kalian sesuatu yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabulloh dan Sunnah NabiNya.” (HR. Hakim I/71
Imam Syafi’i rahimahullah telah membuat perumpamaan bagi penuntut ilmu syar’i yang tidak berdasarkan hujjah (dasar yang benar):
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ.
“Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah adalah seperti orang yang mencari kayu bakar pada malam hari, ia membawa seikat kayu, di mana di dalamnya terdapat ular yang siap mematuknya, sedangkan dia tidak mengetahuinya.” (Manaqib Syafi’i, karya al-Baihaqi, jilid 2, hal. 143)
Maksudnya. para penuntut ilmu harus selalu merujuk kepada hujjah yang berasal dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasululloh shalallahu ‘alaihi wasallam. Jika kita mempelajari ilmu agama, namun tidak merujuk kepada sumber yang benar, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka bisa saja ia akan menemukan perihal yang disangka termasuk agama, padahal bukan, sehingga akibatnya dapat terjatuh ke dalam penyimpangan.
Bahkan Imam Syafi’i menambahkan lagi
مَنْ تَعَلمََّ الْقُرْآنَ عَظُمَتْ قِيْمَتُهُ، وَمَنْ نَظَرَ فِي الْفِقْهِ نَبُلَ قَدْرُهُ، وَمَنْ كَتَبَ الْحَدِيْثَ قَوِيَتْ حُجَّتُهُ، وَمَنْ نَظَرَ فِي اللُّغَةِ رَقَّ طَبْعُهُ، وَمَنْ نَظَرَ فِي الْحِسَابِ جَزُلَ رَأْيُهُ، وَمَنْ لَمْ يَصُنْ نَفْسَهُ، لَمْ يَنْفَعْهُ عِلْمُهُ.
“Barangsiapa yang mempelajari al-Qur`an maka kedudukannya menjadi agung, barangsiapa yang belajar fiqih maka kehormatannya menjadi mulia, barangsiapa yang menulis Hadits maka hujjahnya menjadi kuat, barangsiapa yang belajar bahasa maka tabiatnya menjadi lembut, barangsiapa yang belajar berhitung maka pendapatnya menjadi kuat, barangsiapa yang tidak menjaga dirinya maka ilmunya tidak dapat memberi manfaat kepadanya.” (Tawaali at-Ta`siis bi Ma’ali Ibnu Idris, karya al-Hafidz Ibnu Hajar, hal. 136)
Wallahu a’lam bishshawaab
============================== =======
Materi ceramah ini bisa disimak di Youtube link:
Lebih lengkap dengan ceramah saya, bisa disimak di Youtube Channel saya :