Indra Catri Paparkan Tantangan Guru Masa Kini dan Masa Depan di UNP

JURNAL SUMBAR |Padang — Bupati Agam, Dr Ir H Indra Catri Dt Malako Nan Putiah mengapresiasi Universitas Negeri Padang, dengan respek yang tinggi. Karetna, tidak kurang dari tiga dekade belakangan ini, begitu banyak tokoh nasional yang lahir melalui rahim gemblengan guru-guru alumni Universitas Negeri Padang.

“Sungguh suatu beban yang tidak ringan untuk ditunaikan mencetak guru sebagai pencerdas bangsa, pendidik sekaligus transformator masyarakat,” ujar Indra Catri mengawali Orasinya yang berjudul “Guru, Masa Kini dan Tantangan Masa Depan”.

“Sejenak saya ingin membawa seluruh hadirin yang ada di ruangan ini untuk memutar kembali jarum waktu dan memori mengarah ke masa 74 tahun yang silam. Sebuah masa dimana para pendiri negara, the founding fathers dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, memutuskan untuk merdeka, berdaulat, serta berbangsa dan bernegara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada saat itu telah ditetapkan tujuan yang nyata dan jelas dalam bernegara. Tertulis dengan tinta emas dalam sejarah, bahwa salah satu tujuan kemerdekaan Republik Indonesia itu adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” demikian Indra Catri diawal orasinya.

Diungkapkanya, Sengaja dirinya mengangkat tema usang tentang pahlawan tanpa tanda jasa, yaitu tentang guru yang akhir-akhir ini kerap mengalami degradasi penghargaan, terkadang dipandang sebelah mata oleh murid, masyarakat, dan bahkan pemerintah.

“Takdir menjadikan saya sebagai anak seorang guru dan tumbuh dewasa di lingkungan keluarga guru. Tidak kurang dari lima dekade saya menjalani kehidupan sebagai anak dari seorang guru. Selama itu pula saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana profesi guru mengalami pasang surut yang silih berganti, up and down, dan degradasi yang luar biasa dasyatnya dirasakan akhir-akhir ini. Tidak jarang hati kecil saya memberontak karena tidak terhitung banyaknya kasus guru dikriminalisasi oleh segelintir wali murid dan penegak hukum. Tidak sedikit ditemui peristiwa tragis dimana guru dilecehkan oleh peserta didiknya sendiri.” kenangnya.

Selain itu, mereka harus bertahan dengan pendapatan yang relatif kecil namun tanggung jawab profesi dan sosialnya relatif sangat besar. Kepala mereka harus tetap tegak walaupun status kepegawaiannya tidak jelas dan terkadang dililit hutang. Mereka harus tetap mengajar dengan kondisi baik, optimal, bahkan tanpa cela walaupun dipusingkan dengan persoalan biaya sekolah anak-anak mereka yang belum terpenuhi. Jangankan untuk membeli buku dan mengikuti pelatihan, untuk memenuhi kebutuhan hidup layak saja mereka terkadang tidak mampu. Lebih dari itu, mereka tetap harus selalu tampil prima walaupun tak jarang dalam kondisi hati remuk redam menghadapi intimidasi teman sejawat, kasus perceraian, pelecehan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Dilanjutkannya, jika situasi dan kondisi semacam ini tidak mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh, percayalah peradaban bangsa yang kita cintai ini sesungguhnya tengah berjalan menuju kehancuran. Jared Diamond, seorang ilmuwan Amerika yang pernah memenangkan anugerah Pulitzer, mengingatkan bahwa setidaknya ada tiga cara yang bisa digunakan untuk merusak peradaban suatu bangsa. Salah satunya adalah dengan menghancurkan tatanan pendidikan mereka. Abaikan guru-guru mereka, buat mereka sibuk dengan urusan administratif dan fokus kepada upaya mencari materi semata. Jadikan mereka lupa terhadap fungsi mereka sebagai pendidik.

“Oleh karena itu, tidak berlebihan rasanya jika saya berharap apa yang saya sampaikan kali ini akan membuka mata kita dari kabut tebal yang melingkupi dunia pendidikan kita dewasa ini. Saya berharap semoga apa yang disampaikan ini tidak dipandang skeptis, namun mampu hendaknya melahirkan konsensus moral di antara kita semua, agar lebih fokus dan sungguh-sungguh berjuang demi kemajuan dunia pendidikan di masa datang,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Indra Catri selaku Bupati Agam mengatakan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kabupaten Agam juga menghadapi berbagai persoalan yang relatif sama di tingkat nasional. Apa yang terjadi di tingkat daerah akan menjadi masalah di tingkat nasional. Apa yang berlaku di tingkat nasional akan berimbas ke daerah.

Menurutnya terkait dengan semuanya itu, paling tidak terdapat 6 isu strategis yang saat ini perlu disikapi secara lebih jeli dan seksama. Pertama, adalah rendahnya prestasi siswa. Kita cenderung bercermin kepada sekolah-sekolah unggulan padahal fakta yang ada saat ini menunjukkan bahwa prestasi siswa tidak tersebar secara merata. Rata-rata siswa berprestasi hanya datang dari satu hingga tiga sekolah saja per daerah. Sementara sekolah yang lain terkadang diabaikan dan bahkan disamarkan. Ketimpangan ini perlu dientaskan agar seluruh siswa memiliki kesempatan yang sama untuk berprestasi.

Kedua, adalah rendahnya pemanfaatan IT dalam proses belajar-mengajar. Sebagai contoh, hingga saat ini di Kabupaten Agam sebagian besar sekolah masih menggunakan metode konvensional dalam melaksanakan proses belajar-mengajar. Metode ini mungkin bisa dianggap cukup baik 10 atau 20 tahun yang lalu. Namun di era perkembangan teknologi dan globalisasi saat ini, sudah tertinggal dan usang. Apalagi saat ini telah memasuki era revolusi.

“Kedua permasalahan di atas sejatinya bukan hanya ditemui di Agam. Saya meyakini sebagian besar daerah lain di Indonesia menghadapi kondisi yang tidak jauh berbeda. Walaupun dua isu tersebut tidak terlalu rumit untuk diatasi, tapi perlu untuk dientaskan. Dengan kata lain tidak diperlukan upaya yang terlalu berat dalam mengatasinya, cukup diselesaikan di tingkat lokal. Sebagai contoh di Kabupaten Agam, paling tidak telah dilakukan dua tindakan (efforts) penting dalam mengatasinya.

Pertama, memberikan pembinaan intensif dan pendampingan kepada siswa untuk mengikuti berbagai kompetisi yang dapat berguna sebagai ajang aktualisasi diri dan meraih prestasi. Sejalan dengan itu dalam rangka meningkatkan produktifitas dan kreatifitas siswa diluncurkan program Satu Siswa Satu Buku (SASI SABU).

Kedua, meningkatkan penggunaan IT dalam proses belajar-mengajar agar guru dan siswa tidak gaptek dan semakin mahir dalam memanfaatkan IT. Hingga pertengahan September 2019, Pemerintah Kabupaten Agam telah menyerahkan 690 unit komputer ke sekolah-sekolah dalam rangka mengantisipasi perubahan kurikulum dan dalam persiapan pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Ditargetkan pada tahun 2020 seluruh SMP di Kabupaten Agam sudah bisa melaksanakan UNBK.

Selanjutnya dapat dikemukakan dua isu lagi yang lebih berat untuk dientaskan pada skala lokal atau kabupaten, dikatakannya, isu ini membutuhkan upaya yang lebih besar agar bisa keluar dari kemelutnya. Dengan kata lain dibutuhkan upaya lebih (extra ordinary efforts) dalam mengatasinya.

Pertama, adalah minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Di Agam sendiri saat ini baru 91 persen bangunan SD yang dan 80,26 persen bangunan SMP yang memenuhi standar. Baru sekitar 84 persen laboratorium dan gedung perpustakaan yang memenuhi standar pelayanan minimal. Kondisi ini sejatinya masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa kabupaten lain di Sumatera Barat. Namun seperti yang disampaikan sebelumnya, dunia pendidikan berkembang sangat pesat. Apa yang kita pandang cukup baik hari ini bisa jadi akan menjadi usang beberapa tahun atau bahkan beberapa bulan ke depan.

Kedua, rendahnya marwah dan citra guru. Guru sebagai pilar penentu kecerdasan sebuah daerah, bangsa dan negara masih kerap mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Guru kerap dianggap sebagai profesi kelas dua. Para guru sering kali masih harus direpotkan dengan urusan administrasi yang berbelit. Semua kondisi ini menyebabkan semakin sedikit orang-orang terbaik yang memilih profesi guru sebagai jalan hidup. Secara sistematis keadaan ini menurunkan dengan drastis marwah dan citra guru. Selain itu sebagian besar guru tidak memiliki status dan bargaining position yang kuat. Sebagai gambaran dari 7.000 guru di Agam sekitar 20 persen adalah pegawai honor. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat nasional yang mencapai angka 52,13 persen.

Mengatasi dua isu tersebut dibutuhkan upaya yang cukup besar dibandingkan dengan dua isu sebelumnya. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Agam bersama dengan stakeholders pendidikan telah melakukan beberapa upaya penting dalam mengentaskannya.

Pertama, mengalokasikan anggaran untuk membangun berbagai sarana pelengkap pendidikan seperti laboratorium IPA, sanggar seni dan fasilitas olahraga. Menambah dan merehabilitasi sarana dan prasarana pendidikan dan perlengkapan belajar-mengajar agar lebih representatif. Namun sampai hari ini belum bisa dinyatakan dalam kondisi sempurna.

Kedua, meningkatkan marwah guru dengan memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan secara mandiri. Disediakan fasilitas untuk meningkatkan kompetensinya melalui berbagai training, seminar dan lokakarya. Sebagai contoh sejak tahun 2012 Pemerintah Kabupaten Agam secara continue telah melakukan pengembangan SDM melalui peningkatan kemampuan “thinking skill” bagi para guru. Selain itu untuk meningkatkan produktifitas dan kreatifitas guru, Pemerintah Kabupaten Agam menjalankan program Satu Guru Satu Buku (SAGU SABU), menyelenggarakan workshop dalam menyusun karya ilmiah, dan menyediakan media jurnal pendidikan untuk memuat karya tulis guru.

Walaupun hasilnya cukup menggembirakan, tapi evaluasi terakhir menunjukkan bahwa belum seluruh guru memanfaatkan fasilitas yang disediakan tersebut.

Selain itu ditemui isu yang lebih rumit dan kompleks dibandingkan 4 permasalahan sebelumnya. Sangat kecil kemungkinannya dapat diselesaikan pada tingkat lokal atau kabupaten. Pertama, yaitu tentang kurangnya jumlah guru. Sebagai gambaran, Kabupaten Agam saat ini mengalami kekurangan guru sebanyak 4.910 orang dari kebutuhan ideal sebanyak 8.162 guru.

Hal yang sama juga jamak dijumpai di kabupaten/kota lain. Kedua, tentang rendahnya profesionalitas, kompetensi, dan positioning guru. Selain jumlah yang kurang, kualitas guru di Kabupaten Agam juga bisa dikatakan belum memenuhi standar yang diharapkan. Kondisi ini dipertegas dengan fakta bahwa tingkat kompetensi guru di Kabupaten Agam masih berada pada level III, tertinggal dua tingkat dari Standar Nasional Pendidikan.

Berbeda dengan empat isu sebelumnya, dua isu terakhir ini membutuhkan jalan keluar pada tingkat nasional atau national policy. Artinya dua isu ini tidak akan pernah mampu diselesaikan secara tuntas di tingkat lokal baik di kabupaten maupun propinsi. Padahal sangat strategis dan mendesak untuk diatasi. Dengan kata lain dibutuhkan upaya ekstra besar (super extra ordinary efforts) dalam mengatasinya. Terkait hal ini, Pemerintah Kabupaten Agam secara pro-aktif menyarankan langkah-langkah yang bisa diambil oleh pemerintah pusat sebagai referensi atau jalan keluar.

Pertama, merekomendasikan dan mendesak pencabutan moratorium penerimaan CPNS dan menerbitkan payung hukum baru guna memberikan kesempatan kepada Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk menjadi Guru Tidak Tetap (GTT). Hal ini penting karena tidak mungkin rasanya menyerahkan pendidikan kepada pegawai yang tidak memiliki status yang jelas dan kuat.

Kedua, menghimbau pemerintah pusat untuk menerbitkan payung hukum yang memberikan perlindungan maksimal guna meningkatkan positioning bagi guru dan profesi guru. Sehingga para guru dapat fokus dalam meningkatkan profesionalitas dan kompetensinya yang pada akhirnya lebih dihargai kehadirannya di tengah masyarakat.

Epi

“Semua narasi sebelumnya menunjukkan bahwa masih banyak upaya yang perlu kita lakukan untuk perbaikan dunia pendidikan. Walaupun sudah berbagai upaya yang dilakukan, terbukti hal tersebut belum cukup untuk membawa pendidikan kita digdaya pada skala nasional ataupun lokal (daerah). Jalan panjang masih terbentang untuk membawa dunia pendidikan kita agar mampu berhadapan dengan persaingan dan ketidakpastian global. Oleh karena itu selain enam upaya strategis terdahulu, nampaknya dibutuhkan sosok guru-guru ideal yang mampu menghadapi kondisi yang rumit tersebut,” paparnya.

Menurutnya, perlu disiapkan katup pengaman yaitu sejumlah guru yang mampu menyesuaikan diri atau adaptif dengan kondisi rumit tersebut, dalam hal ini diringkas dengan sebutan Guru “SEJATI”.

Apa kriterianya, dikatakan Indra Catri, pertama, Strength. yaitu guru yang kuat dan kenyal dalam menanggung beban profesi dan sosial. Para guru hendaknya juga memiliki komitmen untuk terus berupaya tanpa henti baik secara fisik, intelektual, ataupun moral dalam meningkatkan kapasitas profesinya. Mereka diharapkan selalu memiliki energi lebih untuk selalu belajar agar tetap aktual.

Kedua, Emphaty. Seorang guru seyogianya mampu memposisikan diri, menyelami perasaan, serta menjalin hubungan yang saling mempercayai dengan peserta didiknya. Lebih dari itu seorang guru juga harus mampu memahami kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama orang tua dan wali murid yang berkemampuan terbatas. Guru perlu kreatif mencari solusi-solusi bijak dari permasalahan yang dihadapi tanpa keluar dari aturan yang berlaku.

Ketiga, Judicious. Guru dituntut untuk selalu bertindak berdasarkan akal sehat, tidak emosional, elegan dan berakhlak mulia. Kriteria ini diperlukan agar guru tetap dihormati sebagai pribadi yang berkarakter kuat, cerdas, dan berakhlak mulia. Guru adalah contoh dan suri tauladan. Rasanya tidaklah out of date jika idiom “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” masih tetap relevan sampai saat ini.

Keempat, Ability. Guru dewasa ini semakin dituntut agar handal dan cakap dalam melaksanakan tugas profesinya. Mampu berkomunikasi dengan wali murid dan masyarakat bila diperlukan. Disamping itu juga harus bersedia meningkatkan kemampuannya melalui self learning dan program capacity building guna menambah wawasannya, keterampilan berpikir (thinking skill) dalam menghadapi berbagai persoalan dan melaksanakan tugas profesionalnya.

Kelima, Talent. Guru dituntut untuk memiliki talenta profesi yang fundamental agar dapat membimbing dan mengawal anak didiknya mengenali dan mengeksplorasi kemampuannya secara maksimal. Seorang guru harus mampu menjadi segalanya bagi anak didiknya. Ada kalanya mereka harus menjadi sutradara bagi anak muridnya. Pada kesempatan lain mereka menjadi polisi agar memberikan reward dan punishment. Namun tidak kalah pentingnya, seorang guru juga harus mampu menjadi baby sitter, agar anak didiknya merasa disayangi, diperhatikan, dan diayomi.

Keenam, Integrity. Di atas segalanya, pada diri seorang guru dituntut agar selalu bertindak jujur kepada diri sendiri, anak didik, dan lingkungannya. Seorang guru harus “satunya kata dengan perbuatan” dalam melaksanakan tugas dan berinteraksi dengan masyarakat. Sehingga guru tidak hanya dipandang sebagai tenaga pendidik semata melainkan juga sebagai teladan dan simbol kejujuran oleh anak didiknya, serta pantas untuk dihormati di tengah masyarakat.

“Tidak adil bila hanya menuntut peningkatan kualitas guru. Bagaimana pun dunia pendidikan tidak hanya berdiri sendiri, tetapi juga harus didukung secara holistik oleh banyak stakeholders lainnya antara lain orang tua, siswa, masyarakat, dan juga pemerintah. Oleh sebab itu pada kesempatan ini saya juga menghimbau agar masyarakat hendaknya memberikan “SUPPORT” pada dunia pendidikan khususnya para guru. Mari kita support bersama-sama dunia pendidikan kita terutama guru-guru yang kita miliki agar semakin dipandang, dihargai, dan dihormati di tengah-tengah komunitasnya Sehingga dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya,” ajaknya.

Caranya bagaimana Indra Catri mengurai antara lain dengan cara, pertama, marilah menciptakan Supporting Society for Teachers Development and Care. Jangan ada lagi kriminalisasi terhadap guru. Jangan lagi memposisikan profesi guru sebagai profesi kelas dua. Ciptakanlah lingkungan yang kondusif terhadap profesi guru. Tidaklah keliru jika kita mengajarkan anak-anak kita untuk menganggap gurunya sama halnya dengan orang tuanya sendiri.

Kedua, Unforgotten.

Mari kita jadikan profesi guru adalah profesi yang tidak terlupakan. Jangan ada lagi istilah “mantan guru”. Jangan pernah lupa apalagi pura-pura lupa bahwa guru adalah pilar bangsa. Dengan begitu marwah guru akan tetap terpelihara dengan baik. Negeri matahari terbit atau Jepang, telah mengajarkan kita 74 tahun yang lalu, bahwa profesi guru adalah profesi pertama yang diingat oleh Kaisar Hirohito pasca negaranya luluh lantak saat kalah pada Perang Dunia II.

Ketiga, Prestige.

Mari kita kembalikan profesi guru ke tempat yang selayaknya. Yaitu profesi yang sangat bergengsi atau prestisius di tengah masyarakat. Sebagaimana yang diwasiatkan oleh Confusius, guru adalah pilar sebuah bangsa untuk ratusan tahun ke depan. “If you have a plan for a year, plant rice. If you have a plan for a hundred years, educate children”. (Jika anda berencana untuk satu tahun, tanamlah padi. Jika anda berencana untuk seratus tahun, maka didiklah generasi penerus).

Keempat, Pride.

Karena guru adalah sebuah profesi yang sangat mulia, maka mari kita berikan rasa bangga kepada orang-orang yang memilih jalan hidupnya untuk menjadi seorang seorang guru. Pastikan kehidupan mereka lebih sejahtera. Kokohkan status dan positioning mereka. Ajarkan anak-anak untuk selalu patuh dan taat kepada guru. Bila perlu carikan mereka pasangan hidup yang lebih mengerti tentang profesi guru.

Kelima, Opportunity.

Mari kita berikan kesempatan kepada para guru untuk memberikan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter kepada anak didiknya tanpa harus diintervensi dan dikriminalisasi. Guru juga perlu mengembangkan talentanya dalam menunjang pekerjaannya.

Keenam, Respect.

Sudah selayaknya kita semua menunjukkan rasa hormat dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada setiap guru. Sebuah profesi yang telah memberikan landasan hidup terbaik bagi masa depan anak-anak kita, nusa bangsa, dan agama. Aktualisasikan lagi petuah lama bahwa tanpa guru kita tidak akan menjadi apa-apa.

Ketujuh, Thankful.

Sebagai penyempurnaan dari semuanya, sudah sepantasnya dan semestinya kita menunjukkan rasa terima kasih terhadap profesi yang diharapkan menjadi pilar penjamin masa depan bangsa ini. Ajarkan anak-anak kita cara berterima kasih kepada guru. Perlihatkanlah kepada anak-anak kita bahwa kita juga memiliki guru dan sampai kini tetap merasa berhutang budi kepadanya.

“Sebagai penutup izinkanlah Saya menghimbau agar kita senantiasa memandang dunia pendidikan sebagai sektor dinamis dan merupakan tanggung jawab bersama. Kebutuhan terhadap perbaikan proses dan ouput dunia pendidikan akan senantiasa berubah secara cepat bahkan cenderung berpola eksponensial. Sejarah pun mencatat bahwa hanya negara-negara yang memiliki komitmen dan ekosistem pendidikan yang khas, adaptif, dan menghargai guru yang mampu memperoleh ouput dan outcome yang membanggakan dari dunia pendidikannya,” imbuhnya.

Sebagai pembanding Ia mengajak sejenak hadirin yang hadir saat wisuda UNP Ke-116 hari ketiga, Senin (16/9/2019) memandang jauh ke bumi belahan barat, menuju negara di kawasan Baltik yang bernama Finlandia. Lihatlah bagaimana seluruh education stakeholders di negara kecil ini bahu-membahu menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap dunia pendidikan, khususnya guru. Masyarakat dan pemerintah memiliki persepsi dan konsepsi yang sama dalam memperlakukan dunia pendidikan. Mereka banyak memberikan kemudahan dan previlege terhadap guru. Hasilnya, saat ini mereka adalah salah satu negara dengan indeks pendidikan terbaik di dunia.

Bergeser sedikit ke Eropa Barat, tepatnya di Jerman. Masyarakat Jerman menempatkan negara mereka pada posisi sebagai “the country of poets and thinkers” atau negeri para penyair dan pemikir. Semuanya berawal dari guru. Passion tersebut membawa Jerman menjadi negara yang dihormati pendidikannya sekaligus menempatkan sebagian besar perguruan tinggi mereka sebagai perguruan tinggi papan atas dunia. Sampai saat ini Jerman menjadi kiblat bagi banyak mahasiswa untuk menuntut ilmu. Guru-guru mereka menjadi buah bibir dan mendapatkan respek yang luar biasa dari murid-muridnya. Termasuk salah satu putra terbaik bangsa, Presiden ke-3 Republik Indonesia, almarhum Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie.

“Sebetulnya banyak contoh yang dapat dikemukakan disini, namun belajar dari bagaimana negara lain dalam mengelola pendidikannya, sudah sepantasnya kita menunjukkan komitmen yang kuat untuk lebih memperhatikan dunia pendidikan kita dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan, diantaranya dengan cara memberikan perhatian dan perlindungan yang lebih konkret terhadap profesi guru, menyediakan sarana dan prasarana pendukung terbaik bagi proses belajar mengajar, menyediakan lembaga pendidikan dan pelatihan yang lebih baik lagi bagi para guru, serta menyusun regulasi yang memang supportif terhadap seluruh insan pendidikan”.

“Hanya dengan cara yang demikian pendidikan kita akan melompat lebih cepat menuju kejayaan melahirkan SDM yang unggul bagi bangsa ini. Kita haqul yakin hanya dengan SDM yang unggul Indonesia akan maju,” tutupnya. (Humas UNP/Agusmardi)
editor;saptarius

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.