Menjaga Ombilin Coal Mining Heritage Sebagai Warisan Dunia

Oleh : Lismomon Nata, S.Pd, M.Si, CHt

2546

“Sawahlunto bapaga kawek, masuak mudo kalua gaek” (Sawahlunto Berpagar Kawat, Masuk Muda Keluarnya Tua)

Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto atau bekas tambang batu bara Ombilin di Sawahlunto telah ditetapkan sebagai warisan dunia pada sidang komite World Heritage, Sabtu 6 Juli 2019 yang lalu di Azerbaijan. Sumatera Barat secara umum dan warga Kota Sawahlunto secara khususnya, bahkan Indonesia tentu dapat berbahagia dan sekaligus mungkin saja berbesar hati mendengar penetapan ini oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Praktisnya, ketika telah diakui oleh institusi yang bertugas untuk melestarikan kebudayaan dunia, maka pengakuan, perlindungan dari dunia telah didapatkan dan resmilah Kota Sawahlunto mengemban amanah sebagai salah satu warisan dunia. Namun, seiring dengan penetapan ini, tentu memiliki konsekuensi dan tantangan kedepannya, misalkan saja dengan kalimat tanya, ‘what next?’ Apa yang mesti dilakukan setelah ditetapkan sebagai warisan dunia? Apa dampak positif atau manfaat bagi kota dan warga kota? Atau beberapa pertanyaan lainnya yang mungkin saja muncul di kepala.

Bercerita tentang Sawahlunto tentu sudah cukup banyak tulisan yang menceritakannya. Diantara sekian banyak buku, Orang Rantai (2007) dan Membara Batubara Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat (1982-1996) karya Erwiza Erman, seorang profesor peneliti LIPI yang konsentrasi terhadap pertambangan dan hasil alam di Indonesia, dapat dijadikan referensi. Namun, membicarakan Sawahlunto tentu tidak habis-habisnya. Diantaranya disebabkan karena setelah kemerdekaan, kota ini dihuni oleh masyarakat multietnik, sehingga diibaratkan seperti replika Indonesia yang memiliki berbagai macam suku bangsa, tetapi selalu hidup berdampingan secara harmonis dan belum pernah terjadi konflik yang berarti.

Sawahlunto awalnya merupakan daerah pedalaman yang dikelilingi oleh bukit-bukit, sehingga konturnya seperti sebuah kuali. Namun, setelah ditemukannya batu bara, ia menjadi daerah yang sangat berarti dan penting, karena batu bara merupakan salah satu sumber energi atau bahan bakar yang dibutuhkan banyak negara di dunia. Sawahlunto merupakan daerah penambangan batu bara pertama di Sumatera, yaitu ketika dilakukannya penggalian batu bara tahun 1880 di daerah Sungai Durian, semakin menjadikannya bertumbuh. Kemudian dilanjutkan dengan dibuatnya proyek tiga serangkai oleh kolonial Belanda; tambang batubara Ombilin, jaringan kereta api dan pembangunan pelabuhan Emmahaven yang kemudian dikenal dengan pelabuhan Teluk Bayur. Maka, hiduplah daerah yang dialiri oleh dua sungai tersebut, Batang Lunto dan Sungai Pasumpahan dari masa ke masa dengan dinamikanya tersendiri.

Berbeda dengan kajian Djoko Soekiman (2014) yang menjelaskan panjang lebar tentang munculnya kebudayaan Indis karena pengaruh orang-orang Belanda yang hidup di Hindia Belanda ketika itu, terkhusunya ketika terjadi perkawinan budaya Jawa dengan Eropa sepanjang abad ke-17 sampai 20. Di Sawahlunto sepengamatan penulis hal demikian tidak terlalu kontras terjadi, yaitu bagaimana pola prilaku orang-orang Sawahlunto yang meniru pola hidup orang Eropa secara identik. Kondisi demikian memang diantaranya dilatar belakangi sejarah panjang dalam perkembangannya. Semenjak W.H. de Greve (1867) melakukan penelitian dan menemukan kandungan hasil alam batu bara, kemudian mendatangkan para pekerja tambang dari luar Sumatera, terutama Pulau Jawa yang disebut orang rantai dan kemudian berhubungan erat dengan tambang batu bara Ombilin sebagai tempat bekerjanya yang kini menjadi warisan dunia. Justru yang terjadi adalah akulturasi, salah satunya lahirlah bahasa tansi.

Seiring dengan perjalanan waktu, pascakolonial, tepatnya setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengambil alih pengelolaannya, yaitu diserahkan kepada PT Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin (PT. BA UPO). Namun, seperti halnya hukum alam yang berlaku, sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, deposit batu bara terus berkurang dan terancam habis. Keadaan tersebut berakibat pada awal tahun 2000 disinyalir karena tidak seimbangnya antara biaya produksi dengan yang dihasilkan, maka penambangan yang dilakukan oleh PT. BA UPO geliatnya semakin menurun. Kondisi demikian juga berimplikasi pada soal kependudukan. Dimana komposisi penduduk ketika itu didominasi oleh para pekerja tambang mulai berkurang tersebab dipindahkan pada daerah kerja perusahaan Bukit Asam lainnya, seperti Kalimantan, Bengkulu dan Tanjung Enim atau diberlakukannya Pensiun Dini (PD) bagi pekerja tambang untuk mengurangi beban perusahaan. Ditambah lagi dengan dibuatkannya perumahan bagi pekerja tambang batu bara di Padang Sibusuk, Kabupaten Sijunjug juga semakin berdampak besar terutama bagi perekonomian masyarakat lokal.

Kota Sawahlunto untuk mempertahankan eksistensinya, ia melakukan berbagai macam upaya. Beberapa tahun setelah reformasi, pemeritahan kota mengubah arah kebijakan pembangunan kota. Diantaranya dengan membuat visi kota menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya 2020. Beberapa aset dan bekas daerah tambang dijadikan serta dikelola sebagai destinasi wisata tambang, seperti Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto yang awalnya pada jaman Belanda bernama Rumah Bola, Museum Gudang Ransoem, Museum Tambang Batu Bara Ombilin, Lubang Mbah Suro, Museum Kereta Api yang ditandai dengan dijemputnya ‘Mak Itam’ sebagai lokomotif tempo dulu, corong asap yang kini menjadi menara Menara Masjid Nurul Islam Kota Sawahlunto dan korkop di Lubang Panjang.

Demikian juga halnya dengan daerah-daerah bekas tambang yang ada lainnya. Dengan demikian, menurut hemat penulis karena cukup banyaknya cagar budaya yang ada di Sawahlunto, dimana saling berkaitan satu sama lain, maka pada dasarnya tentu Kota Sawahlunto itu sendiri merupakan wujud dari warisan dunia.
Di samping itu, pemerintah melakukan pengembangan yang sengaja dibuat belakangan hari untuk memperkuat sebagai daerah wisata, seperti Water Boom di Muaro Kalaban pada tahun 2006, Taman Satwa Kandi dan Puncak Cemara. Dari salah satu media menungkapkan bahwa tahun 2015 yang lalu, informasi diungkapkan oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota sawahlunto, Efri Yanto yang dilansir oleh Kompas.com mengampaikan bahwa angka kunjungan wisatawan ke Sawahlunto tercatat hingga Oktober 2015 sebanyak 650.000 hingga 700.000 kunjungan. Penulis pikir, angka tersebut adalah angka yang cukup fantastis. Artinya, cukup signifikan kunjungan wisatawan Kota Sawahlunto dan patut diberikan apresiasi atas pencapaiannya. Idealnya, tentu akan memberikan gairah dan semangat secara terus-menerus untuk selalu dioptimalkan. Tetapi bagaimana dengan pemanfaatan cagar budaya untuk pariwisata yang memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat?
Demikian juga halnya dengan lubang bekas tambang Ombilin yang telah menjadi warisan dunia, tentu menjadi sebuah keniscayaan untuk menjaganya. Maka, di sinilah pentingnya visi dan misi pemerintahan kota yang jelas dan masif untuk mendukung terhadap pemanfaatan cagar budaya, apalagi telah menjadi warisan dunia. Misalnya terkait dengan pariwisata di atas, yaitu bagaimana mengupayakan pencapaian kemajuan pariwisata dengan tidak hanya dorongan kuat dari pemerintah saja, melainkan perlu dukungan dari masyarakat kota (lokal). Dimana mereka tidak hanya sebagai penonton di rumah mereka sendiri, tetapi sebagai subjek atau pelaku dan sekaligus penikmat dari dampak positif pariwisata. Dengan demikian tentu diperlukan keterlibatan dari masyarakat secara aktif. Namun, kenyataannya partisipasi masyarakat secara aktif ini masih menjadi salah satu masalah utama dalam pembangunan pada kehidupan masyarakat yang sedang berkembang, tidak tertutup kemungkinan terjadi pada Kota Sawahlunto.

Covey (2004) mengungkapkan bahwa visi seringkali dipahami sebagai cara hal untuk melihat sebuah kondisi masa depan yang terlihat oleh mata pikiran. Nah, sudah semestinya potensi-potensi dasar yang dimiliki setiap manusia untuk dioptimalkan, pemerintah kota sudah seharusnya memiliki kemampuan melihat visi yang jauh ke depan untuk mampu membaca peluang-peluang guna kemajuan kota dan masyarakatnya. Adapun beberapa hal yang penulis tawarkan dalam rangka menjaga Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto sebagai warisan dunia adalah, pertama Kota Sawahlunto sebaiknya lebih membuka diri dan bersinergi dengan berbagai pihak untuk menemukan formulasi dan membuat road map terhadap pemanfaatan warisan dunia tersebut. Hal dapat dilakukan dengan cara melakukan berbagai macam kajian atau penelitian-penelitian. Usaha demikian agar setiap program yang dilakukan tepat sasaran. Kedua, mengoptimalkan peran dan fungsi, serta dukungan terhadap instansi terkait, seperti Badan Pelestarian Cagar Budaya, Dinas Pariwisata dan instansi lainnya yang dapat membantu percepatan keberhasilan heritage tourism (wisata warisan budaya), serta selain didukung oleh pemerintah tentu juga diperlukan regulasi yang dikeluarkan oleh legislatif, kemudian melibatkan para pekerja sosial untuk mendampingi program-program yang mendorong agar masyarakat dapat berperan aktif, memiliki pengetahuan yang memadai dan sekaligus mentalitas yang baik dalam menjaga, serta memajukan heritage tourism sebagai salah satu sendi roda perekonomian. Jika hal ini tidak dilakukan, maka dapat diasumsikan akan terus jalan di tempat. Salah satu upayanya adalah dengan membentuk dan membangun komonitas-komunitas sadar warisan budaya dan pariwisata.
Ketiga, menyediakan berbagai infrastruktur menunjang terhadap kemajuan masyarakat kota, tidak hanya memperhaatikan aspek ekonomi, tetapi juga memperhatikan sisi psikologis dan sosial secara lebih serius. Hal ini disebabkan kota yang seperti Hongkong dimalam hari ini adalah sebuah daerah yang cukup jauh, menghabiskan lebih kurang dua setengah jam dari ibu kota Sumatera Barat, Padang untuk sampai di sana. Misalkan saja dengan menyediakan tempat penginapan atau transportasi yang layak dan memadai. Hal yang juga merupakan sesuatu sangat penting adalah bagaimana munculnya kesadaran masyarakat kota dan kemudian didorong oleh pemerintahan kota akan keterlekatan kota dengan simbol-simbol warisan dunia, kemudian dimanfaatkan menjadi modal dalam peningkatan ekonomi kerakyatan. Contohnya, kerajinan tangan dari batu bara, baju distro fesyen dengan motif terkait dengan warisan dunia di Sawahlunto, seperti kota tua, lubang tambang, bangunan tua, silo batu bara atau kegiatan dan pertunjukan budaya yang tidak hanya terjadual dengan baik, melainkan juga terpromosikan secara maksimal.

Dengan demikian, citra bahwa Kota Sawahlunto adalah kota wisata, warisan dunia adalah suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Masyarakat kota diharapkan memiliki kepekaan, pengetahuan, mentalitas kepariwisataan yang tangguh dan berdayaguna. Maka, berbenah, melakukan berbagai macam inovasi dan terobosan-terobosan untuk menjaga warisan dunia agar memberikan kontribusi nyata bagi kota dan warganya, serta mempercepat pertumbuhan kota adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan, karena sebuah bekas lubang galian tambang alam yang kelam tersebut tidak akan memberikan arti apa-apa, jika tidak dikemas secara apik dan baik kepada setiap pengunjung yang datang, menyampaikan pesan bahwa dalam lubang tambang tersebut pernah ada dan hidup berjuta-juta sejarah masa silam yang penuh makna dalam perjalanan sebuah kota dan masyarakatnya untuk selalu dikenang. (Penulis adalah Founder Persatuan Perantau Muda Sawahlunto/ PARMATO Simpul Kota Padang)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here