Bukan Sekedar Bencana Alam, Menakar Komitmen Kita Bersama

Oleh: Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo

SEPANJANG tahun 2019, sebanyak 746 kali bencana terjadi di Sumbar, begitu data yang dilansir dari BPBD. Banjir, banjir bandang dan tanah longsor merupakan musibah dominan, merata terjadi hampir di 19 Kabupaten/Kota yang ada. Selain itu ancaman gempa bumi dengan istilah megathrust, terus mengintai yang bisa setiap saat menyapu Ranah Minang ini. Bukan sesuatu yang biasa dan tidak bisa dianggap remeh. Taruhannya, nyawa manusia.

Saat ini saja, beberapa titik masih berjibaku dengan banjir, longsor, pohon tumbang, angin puting beliung, abrasi, dan sebagainya. Ratusan nyawa sudah jadi korban, belum lagi kerugian material yang tak sedikit. Seiring dengan masuknya musim penghujan, desakan dari alam terus menguat, dan manusia sebisanya mencoba bertahan.

Unsur militer dari jajaran Korem 032 Wirabraja, melalui perangkat Kodim di daerah terus berkutat siang malam mencoba mengatasi hal ini, dengan kolaborasi bersama para pihak, baik BNPB, BPBD, Pemda, dan komponen lainnya. Sasaran terdekat adalah mencoba meminimalisir jatuhnya korban dan menyelamatkan yang ada. Untuk saat ini hanya itu yang bisa dilakukan.

Tetapi kita tentu yakin dan percaya, bencana bukan terjadi kali ini saja. Tahun-tahun sebelumnya hal sama juga terjadi, dan diprediksi jika tidak ada penanganan serius, tahun depan hal serupa akan terus kita derita. Kita percaya, bencana bukan datang dengan sendirinya, apalagi bencana yang berhubungan dengan respon dari alam, campur tangan manusia sangat mungkin terjadi, baik sebagai penyebab maupun sebagai obat penawar agar kebodohan serupa tak terulang.

Dilihat dari tipologinya, bencana yang rutin menimpa Sumbar sebetulnya adalah kolaborasi faktor manusia dan alam, yaitu banjir (termasuk banjir bandang) dan tanah longsor. Ini adalah fenomena yang cukup banyak memakan korban, dan bisa dipastikan bukan karena fenomena alam semata (seperti gunung meletus atau gempa bumi). Jenis ini sebetulnya sangat bisa dicegah dan diantisipasi, asalkan ada upaya bersama yang komprehensif. Pengalaman saya di berbagai daerah yang rawan bencana, menunjukkan bahwa aspek manusia dan kebijakan adalah hal mendasar dalam mensikapi jenis ini.

Oleh karena itu, hemat saya agar kedepannya masalah serupa tak berulang, kita harus kembali ke gagasan awal, yaitu komitmen. Kunci penting ada pada kata-kata tersebut, seberapa kuat komitmen para pihak untuk sadar bahwa masalah ini adalah ulah manusia. Selagi komitmen ini masih dikaburkan atau “dipolitisir” dengan berbagai macam alasan, selama itu pula masyarakat akan menerima deritanya.

Alam Terkembang Jadi Guru, sudah sangat jelas berkata. Bumi yang kita tempati adalah guru terbaik, dan janganlah sesekali berbuat jahat terhadap guru. Kemarahan guru akan senantiasa datang. Rumitnya pula, manusia seringkali mencari alasan untuk mengatakan bahwa ia tak bersalah. Ini kunci awal, yang kemudian perlu diturunkan menjadi aspek konkrit dari komitmen yang ada.

Pertama, lakukanlah restrukturilisasi lahan dan wilayah yang menjadi titik-titik sumber bencana. Daerah ini biasanya juga menjadi wilayah terdampak serius. Faktanya banyak praktek-praktek negatif dan bahkan ilegal dilakukan di wilayah ini. Kalaupun praktek tersebut legal, tapi tetap saja memberikan dampak serius. Kasus Solok Selatan, adalah salah satu bukti. Pertanyaannya, seberapa kompak unsur yang ada untuk mengatakan bahwa yang terjadi disitu adalah karena ulah manusia?

Karena itu, lakukan restrukturasi. Artinya mengembalikan struktur lahan dan wilayah pada posisi yang aman. Ini bisa dilakukan jika ada komitmen dan implementasi kebijakan serius dan berani. Bisa saja akan ditentang, karena bersinggungan dengan kepentingan banyak pihak. Disitulah keberanian dan komitmen dibutuhkan.

Kedua, harus menemukan dan menciptakan alternatif-alternatif pembukaan objek perekonomian masyarakat yang tidak bertentangan dengan keinginan mengamankan wilayah dari bencana. Hampir semua kasus banjir dan longsor bermula karena rusaknya tatanan hutan dan ekosistem. Ini berhubungan dengan aspek ekonomi masyarakat. Melarang, bukan solusi. Perlu larangan dengan mencari jalan keluar. Lamak di awak, katuju di urang, begitu orang Minang berkata. Siapa yang bisa melakukan itu? Tangan pertama adalah pemerintah dan jajarannya, selanjutnya unsur lain termasuk masyarakat sendiri.

Ketiga, komitmen dari semua pihak untuk mencari alternatif teknologi terapan yang bisa membantu masyarakat mencari solusi ekonomi mereka. Ini belum tergali dengan baik, walau potensi sangat besar. Kita bisa pertanyakan, dimanakah dan kemanakah hasil riset para akademisi, lembaga riset, program pendidikan dan latihan, komitmen ormas, untuk menciptakan teknologi terapan menghadapi bencana? Sudah saatnya, kembali ke bumi karena masalah ada disitu. Karena itu, perlu dibangkitkan marwah lembaga riset untuk menciptakan ragam teknologi yang bisa diterapkan membantu semua pihak agar bisa tetap eksis kehidupannya, tanpa merusak alam.

Keempat, kita percaya pemerintah melalui SKPD dan Dinas-Dinas yang ada, punya kapasitas dan sumber daya untuk melakukan semua itu. Tetapi unsur tersebut tak akan bisa berbuat apa-apa tanpa adanya dukungan politik dan dorongan publik secara luas. Saya mengistilahkan, pendampingan terhadap para SKPD dan dinas-dinas, agar konsisten dan terarah pada strategi pencegahan bencana. Keterbatasan teknis maupun non teknis harus didukung oleh pihak lain. Dalam hal ini, saya bisa tekankan, TNI khususnya Korem 032 Wirabraja siap melakukannya. TNI punya sumber daya untuk itu, dan siap kolaborasi serius.

Kelima, kekuatan utama di Sumbar dan Ranah Minang sejak dulu adalah institusi adat yang begitu kuat dan dihormati. Ini harusnya jadi tonggak bersandar dan kekuatan besar yang perlu dimaksimalkan. Ribuan hektar tanah ulayat, puluhan suku, ribuan ninik mamak, adalah komponen penting yang bisa digunakan. Mari kita dorong dan dukung bersama-sama agar komitmen terhadap keselamatan alam dan kesejahteraan anak kemanakan tetap membahana. Karena itu, jauhkanlah kepentingan individu dan termasuk kepentingan politik terhadap kelompok ini. Jangan sampai Tongkat Membawa Rebah. Kalau sampai adat dijadikan alat politik, disanalah bencana tak akan selesai. Adat dan komponennya untuk semua pihak, kawallah itu.

Melalui penguatan itu, maka persoalan yang mengikutinya, seperti tata ruang, tata kelola lahan, termasuk konflik lahan dan batas wilayah bisa diminimalisir. Menguatkan unsur adat, demi kepentingan semua masyarakat, jadikan panglima.

Sasaran strategis dari semua itu adalah lambat namun pasti, dan bahkan bisa cepat terukur, perubahan mind set yang akan dirubah. Kerusahakan alam sangat dominan karena pola pikir selalu memandang alam sebagai sumber ekonomi, padahal disitu juga titik awal bencana yang terjadi.

Semua itu tak akan bisa terwujud tanpa adanya kebersamaan dan kesatuan semua pihak. Masyarakat dan wilayah memang plural, beragam, sulit untuk disamakan. Tetapi dengan menganut prinsip kepentingan orang banyak adalah yang paling utama, maka prilaku negatif satu atau dua pihak, harus dihentikan. TNI siap mengawal ini.

Cara terbaik adalah melakukan mekanisme integrasi sistem pengawasan yang bertanggungjawab. Semua pihak saling mengawasi, lembaga hukum jadi pedoman. BPBD bisa mengawali dengan membuat institusi pengawasan bersama, yang didukung oleh Pemerintah Daerah. Jika ada yang melanggar, hukum bicara dan bersama-sama kita libas. Pemahamannya, prilaku negatif satu orang akan membunuh ribuan orang lain. Ini yang harus dijaga.

Dukungan semua pihak harus muncul dan diikat oleh aturan yang jelas. Oleh sebab itu, lembaga semacam Baznas, termasuk program-program CSR dari berbagai perusahaan, bisa jadi backup metode itu. Semua butuh arah yang sama, dan komitmen adalah kuncinya. Jika tidak, jangan mengeluh jika tahun depan alam akan mengamuk lagi.

Catatan akhir tahun ini, diharapkan bisa jadi refleksi kita bersama. Korem 032 Wirabraja punya komitmen terhadap ini, dan itu tak perlu diragukan. Prajurit siap setiap saat, baik tenaga, pikiran, maupun program konkrit. Kami berharap prajurit jangan dianggap sekedar tenaga tanggap darurat kala bencana, tapi adalah unsur yang bisa berkolaborasi mencegah bencana terjadi. Kami dan kita harus sadar, bencana di Sumbar bukan sekedar bencana alam. Selamat Tahun Baru.penulis adalah Danrem 032 Wirabraja

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.