Strategi Militer Jenderal Andika, Tonggak Terbaik Untuk Indonesia

Dalam sejarah perang modern yang telah memakan semakin banyak korban ketika terjadi perang terbuka, kolosal dan agresif menggunakan hard power, maka banyak pakar telah mengadvokasi strategi baru yang lebih rasional dan efektif untuk mencapai tujuan operasi militer, dengan sumber daya yang paling efisien namun efektif mencapai tujuan. Pemikiran cerdas ini yang sepertinya mendorong Jenderal Andika untuk mengurangi pertempuran terbuka dalam menyelesaikan konflik dalam negeri yang melibatkan kelompok bersenjata, termasuk yang terjadi Papua.

Pemikiran memangkas perang terbuka dan operasi militer kolosal untuk mencapai tujuan operasi militer mulai dipopulerkan pasca Perang Dunia I melalui pemikiran Indirect Approach versi Basil Liddle Hart (1895-1970). Meraih tujuan operasi militer tidak harus berorientasi pada dahsyatnya letupan senjata, namun berorientasi pada efektifitas pencapaian tujuan politik negara. Pensiunan Kapten AD Inggris dan salah satu jenius militer Abad XX ini begitu miris melihat korban manusia PD I dan menjadikan perang ini menjadi yang paling menghancurkan di era modern, dengan 10 juta prajurit tewas, 10 sipil tewas, dan 21 juta orang terluka. Lalu Liddle Hart menyampaikan sebuah adagium terkenal, “The longest way round (to enemy) is the shortest way home”. Jalan terpanjang dan paling berliku untuk mengalahkan musuh adalah yang paling cepat memenangkan perang dan paling cepat mengantarkan para prajurit kembali ke rumah.

Dalam strategi modern model Indirect Approach, mengalahkan lawan bukan hanya mematikan gerakan bersenjata dengan senjata, namun menghentikan seluruh keinginan politik dan gerakan senjata lawan dengan kebijakan militer yang tepat, cara militer dan non militer, serta bukan melulu dengan letupan senjata. Liddle Hart mengatakan Indirect Approach sebagai “A strategy in which the enemy’s political will is overcome by wisdom and not by force.”  Kebijakan militer yang bijak akan lebih ampuh diterapkan dibandingkan pengerahan kekuatan besar-besaran tanpa visi politik yang jelas.

Pada era perang modern berikutnya, model strategi Indirect Approach menjadi gagasan penting yang diadopsi oleh para jenius militer. Salah satunya mendorong lahirnya strategi Effect-Based Operations (EBO) atau Operasi Berbasis Efek. EBO menjadi strategi dasar militer AS pada Perang Teluk tahun 1991 untuk merencanakan dan melaksanakan operasi gabungan dengan melibatkan operasi tempur dan non-tempur, melibatkan kekuatan militer dan sipil, untuk mencapai sasaran strategi. Pencetus EBO, Letkol David A. Deptula (Saat ini Letjen Purnawirawan – Dekan di Mitchell Institute), menyatakan bahwa “EBO focused on desired outcomes attempting to use a minimum of force”. EBO fokus pada pencapaian tujuan operasi dengan pengerahan kekuatan minimal, serta biaya dan korban minimal. Dalam perang apapun, yang menentukan kemenangan perang bukan melulu seberapa besar pengerahan kekuatan Alutsista, namun seberapa besar dampak yang dihasilkan oleh sebuah strategi operasi.

Sejujurnya, bangsa Indonesia harus mengakui bahwa wajah operasi TNI di Papua telah berubah total berkat pemikiran jenius Jenderal Andika. Pendekatan berpikir Jenderal Andika tentang pengerahan kekuatan TNI di Papua yang lebih humanis, bukan operasi tempur agresif, sudah sangat tepat, selaras dengan pemikiran Indirect Approach Basil Liddle Hart dan Effect-Based Operation David Deptula. Kekuatan senjata mungkin bisa memenangkan pertempuran, namun belum tentu memenangkan tujuan politik, serta belum tentu berdampak optimal bagi stabilitas politik dan keamanan bangsa kita. Mungkin ada yang menganggap strategi ini kurang populer atau bahkan kurang heroik, tapi yakinlah ini juga yang terbaik untuk prajurit dan terbaik untuk negeri ini. “The longest way round to enemy is the shortest way home”.

Penulis adalah Pendiri Beranda Ruang Diskusi.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.