Di Pemilu 2024, KASN Ungkap Ada Ratusan Pelanggaran Netralitas Dilakukan ASN, Ini Kata Sarlina

JURNAL SUMBAR | Sawahlunto – Pada Pemilu 2024, catatan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mengungkapkan adanya 403 laporan mengenai pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), dengan 183 ASN atau 45,4 persen terbukti melanggar netralitas.

Meskipun jumlah ini menurun jika dibandingkan dengan Pilkada serentak 2020 yang mencatat 2.034 kasus dengan 1.597 ASN atau 78,5 persen terbukti bersalah, pelanggaran netralitas ASN tetap menjadi masalah signifikan yang belum terselesaikan sepenuhnya. Di tengah upaya menjaga netralitas ASN, muncul isu diskriminasi dalam pencalonan kepala daerah.

ASN yang ingin mencalonkan diri diwajibkan mengundurkan diri dari jabatannya, sementara presiden dan menteri hanya perlu mengambil cuti saat mencalonkan diri.

Contoh diskriminasi ini terjadi di Sawahlunto, Sumatera Barat, di mana wali kota melalui surat edaran menyatakan bahwa ASN dilarang mendekati atau mendekatkan diri ke partai politik.

Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa ASN harus mengundurkan diri padahal mereka tetap berada dalam konteks pemerintahan yang sama?

Itupula alasan Sarlina Putri, SE, M.Par, dari Varisha Peduli Sawahlunto, menyatakan mundur dari bursa Pemilihan Walikota (Pilwako) Sawahlunto, Sumatera Barat, 2024.

Keputusan mundur dari bursa pencalonan Pilwako itu, setelah ia mengkaji aturan ASN dilarang mendekatkan diri ke partai, atau CLTN ( Cuti diluar Tanggungan Negara ).

Padahal, pentolan Varisha Peduli Sawahlunto itu telah mendaftarkan diri sebagai bursa Pilwako di Partai, PAN, NasDem, PKS, PKB, PPP, dan Demokrat.
Mundurnya Salina dari bursa Pilwako Sawahlunto itu, setelah melalui kajian matang dan pemikiran mendalam.

Pertama, katanya, ia akan fokus sebagai ASN dan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Alasan kedua, katanya, dirinya ingin membantu kemajuan Sawahlunto sesuai disiplin ilmu yang dimilikinya sebagai ASN.

“Itulah dasar saya menarik kembali pendaftaran kesemua partai-partai mengundurkan diri dari bursa Pilwako Sawahlunto 2024,”kata Sarlina.

OTW 2

Namun, ia sangat menyangkan, kenapa SE (surat edaran) Walikota keluar setelah pengembalian Formulir oleh Bacalon. Informasinya, SE itu terbit tanpa disposisi Sekda yang juga mendaftar sebagai Cawako di Kota Arang itu.

Padahal, kata Sarlina, Mahkamah menilai demi memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil, maka pengunduran diri dimaksud dilakukan bukan pada saat mendaftar, melainkan pada saat yang bersangkutan telah ditetapkan secara resmi sebagai calon oleh penyelenggara pemilihan.

Pemilu

“Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,” ucap Arief Hidayat membaca amar Putusan Perkara No. 41/PUU-XII/2014 didampingi delapan Hakim Konstitusi yang lain seperti dikutif Sarlina.*

Nah, konsistensi menjaga netralitas di Pemilu 2024, Sarlina menilai pembatasan tidak adil, terutama mengingat ASN seharusnya dapat berkontribusi dalam pemerintahan tanpa kehilangan posisinya.

Kecuali jika mereka mencalonkan diri menjadi anggota legislatif yang memerlukan afiliasi dengan partai politik, ASN yang diperbantukan dalam jabatan BUMN pun semestinya bisa tetap aktif mewakili negara, dengan sistem penggajian dan status jabatan yang mendukung keberlangsungan karier mereka.

Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 41/PUU-XII/2014, untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil, pengunduran diri bagi ASN dilakukan bukan pada saat mendaftar, melainkan pada saat yang bersangkutan telah ditetapkan secara resmi sebagai calon oleh penyelenggara pemilihan.

Dari perspektif hak konstitusional, pembatasan hak politik ASN tidak sejalan dengan semangat negara hukum yang menekankan kesamaan hak di hadapan hukum, seperti diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 28D ayat (3) juga menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, yang tidak mungkin dijalankan oleh ASN jika hak politik mereka dibatasi.

Selain itu, pelarangan ASN untuk mendukung salah satu kandidat dalam pemilihan umum bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara.

Netralitas ASN seringkali tidak berjalan sebagaimana mestinya karena kepala daerah petahana kerap memberikan tekanan agar ASN menguntungkan dirinya. Tekanan ini bisa berbentuk perintah langsung, ancaman mutasi, atau bahkan pemberhentian, yang membuat ASN berada dalam posisi sulit.

“Ini menunjukkan bahwa masalah sebenarnya terletak pada kontrol kepala daerah terhadap ASN, bukan pada partisipasi politik ASN itu sendiri,”sebut Sarlina mengutif Kompas.Com.JS-001/*

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.