JURNAL SUMBAR | PADANG – Jembatan yang dibangun di tahun 1981 ini merupakan pemindahan jembatan Pasar Usang yang telah dibangun baru. Ir. Asripar Oesmin, seorang putra Koto Buruk yang waktu itu menjabat sebagai kepala sub. Dinas Sarana Jalan dan Jembatan Propinsi Sumatra Barat memperjuangkan jembatan ini dapat menghubungkan daerah seberang air desa Koto Buruk, saat itulah daerah ini terbuka dan kehidupan ekonomi masyarakat menjadi dinamis.
Jembatan tua ini sangat membantu masyarakat dalam mengembangkan kawasan seberang air Batang Anai (nagari koto buruak timur), pendapatan ekonomi masyarakat dari sektor pertanian dan hutan menyebabkan dinamika masyarakat tumbuh, secara nyata membangun kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Semenjak maraknya galian C di daerah Koto buruk Selatan dengan menggunkan eskavator, maka riwayat jembatan ini menjadi menarik. Pengusaha galian C dan merupakan pemgusaha tunggal telah menyebabkan jembatan tua ini semakin runyam, hasil galian C yang dikelola, dibawa menggunakan truk roda enam (setara tol) melewati kapasitas tonase melalui jembatan ini, dan melewati simpang BLKM Jambak.
Beberapa kali penulis mengkritasi aktifitas tersebut, galian C dan tindakan pengusaha yang ingin menang sendiri perlu dikritisi. Sebagai seorang putra daerah kami sebenarnya menyesalkan kenapa jembatan ini runtuh, dan sebagai masyarakat kami sangat menyesali kejadian ini. Pembiaran lalu lintas angkutan galian C, keruntuhan jembatan ini telah mematikan poros ekonomi masyarakat, sangat perlu kiranya pemerintah baik provinsi ataupun kabupaten memaknai ini sebagai satu petaka karena kurangnya kajian amdal terhadap keluarnya izin galian.
Menangisi jembatan ini, kita masyakarat harus berfikir bahwa apapun bentuknya penguraksakan alam akan menimbulkan petaka. Termasuk bagaimana mengkritisi kondisi jembatan lain di koto buruak yang baru dibangun, dan kaki jembatan pun saat ini sudah keropos/ mengalami kerusakan.
Jika jembatan koto buruk pun runtuh maka kita masyarakat sebarang batang anai akan kembali ke zaman tahun 80 an, masa 30 tahun yang lalu.
Adalah “biduak/sampan” sebagai alat transportasi kami saat itu, kenyataan nya akankah kami akan mengalami naik biduak kembali ketika harus menemui sanak kemanakan kami di sebarang sungai. Kalau ini terjadi lagi… Duh dimana kemerdekaan ini. Melirik galian C banyak cerita didaerah ini, termasuk siapa dibalik pengusaha ini. Kami masyarakat kecil hanya melongo melihat dan mendengarnya, kok sebegitunya cerita ini, ataukah ini bak pepatah ” mangapik kapalo harimau”. Kita tidak apriori namun kecewa, jika sudah seperti ini sia yang akan disalahkan????