Jelang Kongres PWI, Teguh Santosa: Saatnya yang Muda Unjuk Karya

651

JURNAL SUMBAR | Jakarta – Kongres XXIV PWI sudah di ambang pintu. Siapakah kelak Ketua Umum PWI Periode 2018 – 2023, melanjutkan tongkat estafet Margiono, yang telah dua periode memimpin organisasi wartawan terbesar di Tanah Air ini. Kongres PWI akan dilangsungkan di Solo, 27-30 September 2018 mendatang.

Nama-nama pegiat jurnalistik pun mulai muncul sebagai bakal calon Ketua Umum PWI Pusat untuk dipilih dalam Kongres di Solo nanti. Nama yang muncul tentunya bukan nama yang asing dalam dunia jurnalis. Salah satunya adalah tokoh jurnalis yang kini menjadi Pimpinan Umum RMOL.co, Teguh Santosa.

Untuk PWI Kita

TEGUH Santosa bukan nama yang asing bagi kita. Sebagai Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam lima tahun terakhir Teguh membawa panji PWI ke berbagai forum internasional.

Pria kelahiran Medan, 30 Juli 1975, ini memulai karier sebagai wartawan di harian Rakyat Merdeka segera setelah ia lulus kuliah dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran pada tahun 2000.

Namun perkenalannya dengan dunia kewartawanan sudah terjadi sejak dia mulai kuliah di Unpad tahun 1994. Di masa-masa itu selain menjadi wartawan majalah mahasiswa Polar, Teguh juga kerap menulis artikel di berbagai media lokal dan nasional. Ia memimpin majalah Polar di era 1997-1999.

Di awal kariernya di Rakyat Merdeka, Teguh kerap ditugaskan untuk meliput berbagai peristiwa politik skala internasional, seperti perang di Afghanistan (2001), perang di Irak (2003), ketegangan nuklir Korea Utara (2003), transisi politik Malaysia (2003), krisis politik Lebanon (2005), dan sebagainya

Pada kurun 2002 hingga 2005, Teguh bertanggung jawab pada keredaksian di halaman utama Rakyat Merdeka. Pada tahun 2005 bersama pemimpin Rakyat Merdeka, Margiono, Teguh mendirikan Rakyat Merdeka Online. Selain mencintai pekerjaannya sebagai wartawan, Teguh juga mencintai dunia pendidikan.

Pada tahun 2007 hingga 2009, berbekal beasiswa dari Ford Foundation, Teguh menempuh pendidikan S2 di University of Hawaii at Manoa (UHM), Amerika Serikat. Di kampus itu ia memperdalam ketertarikan pada sejumlah subjek, seperti studi hubungan internasional, studi konflik dan perdamaian, juga studi politik pribumi, dan studi politik Asia Timur.

Kembali ke Indonesia, Teguh memutuskan untuk fokus membesarkan Rakyat Merdeka Online yang kini telah berkembang menjadi Kantor Berita Politik RMOL.

Selain itu, dia juga memulai karier sebagai tenaga pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan London School of Public Relations (LSPR) Jakarta. Hingga kini Teguh juga tercatat sebagai Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK).

Mengenai kedua aktivitasnya ini, Teguh kerap mengatakan dunia kewartawanan dan dunia pendidikan memiliki karakter yang sama, yakni sama-sama setia pada fakta dan memiliki disiplin riset.

Menjadi pengajar di universitas adalah metode yang dipilih Teguh untuk mendekatkan media yang dikelolanya dengan kelompok yang potensial menjadi menjadi pembaca. Selain itu, dengan mengajar di universitas dirinya berkesempatan merekruit fresh graduate untuk bekerja di RMOL.

Mengelola RMOL

Dalam mengelola RMOL, Teguh berpegang kuat pada pandangan bahwa media massa adalah industri kreatif.

Teguh mendesain RMOL tidak sebagai supermarket yang menjual semua barang dari A sampai Z. Melainkan memiliki segmentasi yang sangat khas. Kalangan pembaca yang disasar adalah praktisi dan pemerhati politik, dengan berita-berita politik yang tidak partisan, tidak parsial. Kini RMOL telah berdiri di lebih dari 13 provinsi di Indonesia. Selain itu, juga memiliki saluran streaming RMOLTV dan Majalah RMOL.

Teguh berkeyakinan di dalam masyarakat demokratis dibutuhkan penguasa yang punya visi jelas untuk kepentingan nasional. Juga dibutuhkan kelompok oposisi yang mencerdaskan, yang tidak asal berteriak, melainkan yang punya kemampuan untuk memberikan pandangan atau tawaran alternatif yang kredibel dan terukur.

Sejatinya, penguasa dan oposisi harus sama-sama memiliki perhatian dan komitmen yang kuat pada kepentingan nasional.

Dalam kaitan itu, Teguh menempatkan RMOL sebagai ruang bersama yang bisa diakses oleh masyarakat politik dari berbagai latar belakang kelompok dan partai politik.

“Bayangkan, apa jadinya bila ketika pandangan A yang diharapkan menjadi mainstream tidak mampu menjawab persoalan, sementara pandangan B yang diharapkan menjadi alternatif juga sama-sama tidak mampu,” ujar Teguh suatu kali dalam pertemuan nasional Kantor Berita Politik RMOL Network.

Pendekatan Dialog

Bagi Teguh, konflik (juga damai) dan komunikasi memiliki hubungan yang sangat menarik. Konflik dan komunikasi seperti dua sisi dari sebuah mata uang. Relasi keduanya jelas dan tegas. Komunikasi yang baik akan mendorong perdamaian. Tetapi komunikasi yang buruk mendorong hal sebaliknya.

Oleh karena itu Teguh selalu mengedepankan proses dialog yang berorientasi pada kepentingan yang lebih luas (nasional). Proses dialog memang melelahkan. Sepintas ada kesan harus membuang waktu untuk berdialog.

Tetapi inilah syarat demokrasi, kemauan untuk berdialog dan menimbang kepentingan bersama. Demokrasi bukan sesuatu yang bisa dipelajari dalam waktu satu malam. Demokrasi tidak bisa dipahami hanya dengan membaca buku-buku tentang demokrasi, dan setelah membacanya kita lantas berasumsi bahwa kita sudah demokratis.

Perbedaan pasti akan tetap ada. Tetapi Teguh yakin, manakala kita bisa memisahkan persoalan yang elementer dengan yang aksesoris, maka yang terjadi adalah pekerjaan untuk menjalin kebersamaan. Lagi, dalam konteks inilah RMOL mengambil peran.

Paradoks Era Reformasi dan Digital

Teguh ingat, ketika masih mengelola majalah mahasiswa, ia dan kawan-kawannya membayangkan sebuah situasi di masa depan, di mana masyarakat memiliki akses yang begitu maksimal terhadap media dan informasi. Dalam situasi itu setiap individu warganegara akan diperhitungkan, sehingga Indonesia betul-betul menjadi sebuah bangsa yang hidup, bukan sekadar bangsa yang dituliskan di dalam buku cerita.

Sekarang Indonesia bisa dikatakan berada pada masa yang dibayangkan itu. Diversifikasi media massa semakin tinggi. Media baru dan platform media baru bermunculan. Setiap orang mempunyai akses yang cukup maksimal terhadap sumber informasi, dan bahkan setiap individu dapat memproduksi “berita” sendiri lewat berbagai platform media sosial.

Tetapi justru kita menyaksikan bibit primordialisme di tengah masyarakat seakan tumbuh subur.

Menurut Teguh juga ada fenomena yang agak janggal. Di masa otoritarian, informasi ditunggalkan oleh rezim yang berkuasa. Kini, di saat media berikut platform media semakin terdiferensiasi dan pembaca semakin tersegmentasi, informasi yang berkembang di tengah masyarakat seakan mengalami “penunggalan”.

Keyakinan dasar bahwa informasi adalah alat membebaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, dan penindasan, seperti tidak mendapatkan tempat yang layak di tengah “media fiesta” ini.

Di era digital ini, media online akan semakin powerful. Tetapi dunia baru yang serba digital ini membutuhkan kearifan dalam proses “produksi dan konsumsi” informasi.

Perkembangan informasi dan teknologi komunikasi yang tidak dibarengi kearifan akan memicu berbagai persoalan. Oleh sebab itu, menurut Teguh, kampanye media literacy harus terus digalakkan, baik untuk kalangan umum maupun kalangan wartawan.

Kepedulian pada persoalan-persoalan yang terkait dengan perkembangan media massa berbasis internet dan literasi media di kalangan masyarakat yang lebih luas ini yang mendorong Teguh ikut membidani kelahiran Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) pada tahun 2017. Teguh menjadi ketua umum pertama organisasi itu.

Kebutuhan PWI

Dalam setting seperti diuraikan itulah, Indonesia membutuhkan korps wartawan yang selain memiliki kompetensi dalam menjalankan tugas sehari-hari, juga mempunyai wawasan luas, serta memiliki kesadaran pada tanggung jawab di tengah masyarakat.

Korps wartawan yang demikian itu memerlukan guidance dari sosok yang memiliki keluasan pandangan serta pengalaman yang tidak sedikit dalam mengelola media dan kehidupan wartawan. Selain itu, yang juga tidak bisa diabaikan, sosok tersebut haruslah mendapatkan pengakuan luas di tengah masyarakat.

Di awal tahun 2018 Teguh dipilih menjadi Wakil Presiden Konfederasi Wartawan ASEAN. Di dalam negeri, dia juga kerap dimintai memberikan pandangan mengenai berbagai isu nasional dan internasional.

Intelektualitasnya juga mendapat pengakuan di level internasional. Pada tahun 2011 dan 2012 Komisi IV Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York mengundang Teguh untuk ikut berbicara mengenai penyelesaian konflik Sahara Barat, Maroko. Komisi IV PBB adalah sebuah badan kelengkapan PBB yang menangani persoalan politik khusus dan dekolonisasi.

Selain isu di kawasan Afrika Utara itu, Teguh juga aktif dalam pembicaraan damai konflik di Semenanjung Korea.

Catatan-catatan mengenai sepak terjang Teguh Santosa merupakan modal yang cukup tinggi bagi Teguh mendapatkan kepercayaan untuk memimpin PWI Kita. (Humas PWI)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here