JURNAL SUMBAR | Jakarta – Indonesia dinilai belum bisa memaksimalkan posisi sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk meningkatkan posisi tawar di arena internasional.
Hal ini bisa dilihat dari pertemuan kedua antara pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Hanoi, Vietnam, akhir bulan Februari lalu.
Semestinya, Indonesia dapat memanfaatkan posisi sebagai anggota Dewan Keamanan PBB untuk mengambil peran dalam dialog perdamaian antara Korea Utara dan Amerika Serikat.
Demikian dikatakan pemerhati hubungan internasional Teguh Santosa dalam diskusi Ngopi di Sebrang Istana yang diselenggarakan Kedai Kopi di Restoran Ajag Ijig, Jalan Ir. H. Juanda, Jakarta Pusat, Kamis (4/4).
Teguh prihatin karena pertemuan kedua antara Kim Jong Un dan Donald Trump walaupun kembali dilakukan di Asia Tenggara, namun tidak digelar di Indonesia yang notabene sedang menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Pertemuan pertama Kim Jong Un dan Donald Trump digelar di Singapura bulan Juni 2018. Sebelum pertemuan di Singapura itu digelar pihak Indonesia sempat menyampaikan keinginan menjadi tuan rumah pertemuan.
Teguh khawatir pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, hanya mengedepankan aspek seleberasi dari kemenangan dalam voting pemilihan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang digelar bulan Juni 2018.
“Kita menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB adalah untuk kali yang keempat. Jadi bukan sesuatu yang baru. Hanya saja kelihatannya diframe sebagai sesuatu yang baru dengan selebrasi yang luar biasa,” ujar Teguh.
Diskusi tersebut juga dihadiri jurubicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Amin, Arya Sinulingga, jurubicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Jansen Sitindaon, pengamat LIPI Diandra M. Mengko dan peneliti senior Kedai Kopi Justito Adi.
Di dalam diskusi yang dipandu oleh moderator Riga Danniswara itu, Teguh juga ditanya mengenai pandangannya mengenai peran Indonesia pada persoalan Rohingya di Myanmar atau Burma.
Dia membandingkan posisi Indonesia dalam kasus Rohingya dengan peran yang dimiliki Indonesia saat perang saudara di Vietnam di era 1970an.
“Kita pernah menjadi ujung tombak ketika terjadi Perang Vietnam. Kita mengambil alih tanggung jawab, kita sediakan Pulau Galang sebagai tempat menampung pengungsi dari Vietnam. Karena kita punya bargain untuk itu, kita minta PBB ikut membantu pembiayaan,” urainya.
Sementara dalam kasus Rohingya, pihak Indonesia dinilai baru sebatas menyampaikan imbauan moral dan bantuan kemanusiaan yang konvensional. Tidak ada tawaran yang lebih maju dan memperlihatkan kapasistas Indonesia sebagai alternative power.
Bahkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat hendak bertemu Penasihat Pemerintah Myanmar Aung San Suu Kyi diminta untuk tidak menggunakan istilah Rohingya. Rilis/DEY