Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian (Foto: Dok. Kemendagri)
JURNAL SUMBAR | Jakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan soal surat edaran (SE) Mendagri yang mengizinkan pelaksana tugas (plt), penjabat (pj), dan pejabat sementara sementara (pjs) kepala daerah dapat memberhentikan, memberikan sanksi, hingga memutasi pegawai. SE ini menuai kontroversi karena dinilai rawan membuat Pj kepala daerah berlaku sewenang-wenang.
Tito mengatakan SE itu diterbitkan saat sudah sebanyak 76 Pj kepala daerah dan bupati/wali kota yang dilantik. Tito mengatakan banyak suara keluhan dari daerah-daerah soal aturan mutasi dan pemberhentian pegawai.
“Ini mulai otda ini, mulai teriak-teriak ini, maksudnya mulai mengeluh, mempermasalahkanlah. Karena apa? Banyak sekali sudah mulai, kan salah satunya nggak boleh mutasi pegawai. Nah ada persetujuan-persetujuan yang perlu, yang mereka mintakan kepada Mendagri harus tanda tangan Mendagri, kaitan dengan mutasi pegawai ini,” kata Tito dalam rapat bersama Komisi II DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Tito menilai mekanisme mutasi atau pemberhentian pegawai menjadi lebih simpel dengan SE itu. Terlebih penindakan terhadap ASN yang terlibat kasus pidana.
“Nah mutasi pegawai ini luas sekali ruang lingkupnya. Setelah dilihat ada sebenarnya hal-hal yang bisa disimpelkan, yaitu yang pertama mengenai kewenangan untuk menandatangani surat pemberhentian sementara kepada mereka pejabat ASN yang sudah terkena pidana dan kemudian, misalnya, ditahan oleh APH (aparat penegak hukum),” ujar Tito.
“Yang kemudian sudah diputuskan dalam sidang, mekanisme tertentu tentunya, yaitu pelanggaran disiplin yang sudah jelas nyata. Nah mereka ini untuk Pj, kalau untuk yang definitif mereka tidak perlu persetujuan dari Mendagri untuk menandatangani terhadap pemberhentian itu,” lanjutnya.
Tito merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021. Dia memberi atensi soal kursi pejabat yang kosong saat terlibat kasus hukum lantas harus segera diisi.
“Nah ada PP Nomor 94 Tahun 2021 yang menjelaskan bahwa tidak boleh terjadi kekosongan. Bila ada pejabat yang ditahan karena masalah hukum harus segera diberhentikan dan segera untuk diisi untuk keberlangsungan pemerintahan. Nah ini sudah mulai banyak,” kata eks Kapolri itu.
Tito menyoroti isu yang beredar di publik bahwa SE tersebut berisi Mendagri mengizinkan memecat dan memutasi pegawai. Tito mengklarifikasi bahwa kewenangan itu diberikan terkait ASN yang berurusan dengan hukum.
“Bukan kewenangan itu yang kita berikan, tapi adanya di poin 4a dan 4b hanya dua aja, yaitu yang meraka sudah terkena masalah hukum dan sudah ditahan apalagi, itu memang harus diberhentikan,” ujarnya.
Dengan demikian, Tito menepis isu bahwa pihaknya memberikan kewenangan penuh kepada Pj kepala daerah terkait pemecatan pegawai. “Jadi isu yang berkembang seolah-olah Mendagri memberikan kewenangan penuh, tidak terbatas kepada kepala daerah untuk melakukan pemberhentian dan mutasi jabatan, tidak benar,” kata dia.
Terkait kekhawatiran bahwa SE ini rentan dipolitisasi oleh seorang Pj kepala daerah, dia memastikan kewenangan tersebut dibatasi pada dua hal pada poin tersebut, yakni poin 4a dan 4b dalam SE.
“Kedua, adanya kekhawatiran banyak pihak akan terjadi politisasi karena kewenangan ini. Kewenangannya hanya dua aja, menandatangani yang sudah berhadapan dengan masalah hukum dan harus diberhentikan,” lanjut dia.
Selain kewenangan itu, seorang Pj kepala daerah juga diwajibkan untuk melapor kepada Kemendagri dalam rentang 7 hari.
“Itupun 7 hari kemudian harus lapor Kemendagri dan saya bisa meralat dan kedua mutasi antardaerah. Nanti prosesnya tetap ke Kemendagri, lalu ke otda, diserahkan ke BKN, kemudian disetujui atau tidaknya. Jadi sekadar tanda tangan persetujuan mutasi daerah, nggak harus ke saya, karena nanti akan numpuk,” imbuhnya.
Sekilas soal SE Mendagri
SE yang diteken oleh Mendagri Tito Karnavian pada 14 September 2022 itu ditujukan kepada gubernur, bupati/wali kota di seluruh Indonesia. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Benny Irwan membenarkan surat edaran tersebut.
“Ya, benar,” kata Benny saat dimintai konfirmasi, Jumat (16/9/2022) lalu.
Izin itu tertuang dalam poin nomor 4 surat edaran. Dalam poin itu, dijelaskan bahwa Mendagri memberikan persetujuan tertulis kepada plt, pj, dan pjs gubernur atau bupati atau wali kota untuk memberhentikan, memberikan sanksi, hingga memutasi pegawai.
Berikut ini bunyi poin 4 SE tersebut:
4. Berkenaan dengan ketentuan tersebut di atas, dengan ini Menteri Dalam Negeri memberikan persetujuan tertulis kepada Pelaksana Tugas (Plt), Penjabat (Pj), dan Penjabat Sementara (Pjs) Gubernur/Bupati/Wali Kota untuk melakukan:
a. Pemberhentian, pemberhentian sementara, penjatuhan sanksi dan atau tindakan hukum lainnya kepada pejabat/aparatur sipil negara di lingkungan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota yang melakukan pelanggaran disiplin dan atau tindak lanjut proses hukum sesuai peraturan perundang-undangan.
b. Persetujuan mutasi antardaerah dan atau antar-instansi pemerintahan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, tidak perlu lagi mengajukan permohonan persetujuan tertulis sebagaimana ketentuan dimaksud.
Kendati begitu, plt, pj dan pjs harus melaporkan hal tersebut ke Mendagri paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak dilakukannya tindakan kepegawaian tersebut. Dikonfirmasi terpisah, Benny menjelaskan SE ini diterbitkan dalam rangka efisiensi serta efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. sumber; detiknews