Mungkinkah Pessel Kembali ke Lada?

Oleh: Yulizal Yunus

Saya merasa tersanjung diundang langsung secara lisan dan tertulis oleh Bupati Pesisir Selatan Bapak Drs. Rusma Yul Anwar, MPd. Disusul sambungan seluler Sekdakab Bapak Mawardi Roska dan Kabag Tapem Bapak Darmadi, adalah menghadiri Sidang Paripurna Istimewa DPRD Kabupten Pesisir Selatan Senen/ 22 April 2024, di Gedung Painan Convention Centre (PCC) yang megah ini. Hadir dimaksudkan, memberikan sambutan mewakili masyarakat disebut sebagai Tokoh Masyarakat (Tomas) Pesisir Selatan. Terima kasih Bapak Bupati dan Bapak Ketua DPRD Kabuapten Pesisir Selatan. Hadirin hadirat yang saya muliakan. Khusus masyarakat saya didaulat mewakili, tak sempat membangun kesepakatan, kita bangun saja komitmen abstrak, tapi andaikan tidak terwakili saya minta maaf. Namun yang jelsas, marilah bersama kita mengucapkan selamat merayakan Hari Jadi Kabupaten (HJK) ke-76 (15 April 1948 – 15 April 2024) Pesisir Selatan, pada hari ini 22 April 2024.

 

Dalam sambutan merayakan HJK ke-76 ini saya sekelumit ingin menyentuh sejarah. Adalah kebiasaan saya sebagai penulis sejarah, senantiasa memasuki wilayah sejarah setiap ada event sejarah. Seperti halnya saya memberikan sambutan dan atau orasi kebudayaan pada dua kali Sidang Paripurna Istimewa DPRD Provinsi Sumatera Barat, dalam rangka Merayakan Hari Ulang Tahun ke-74 (1 Oktober 2019) dan ke-75 (1 Oktober 2020) Provinsi Sumatera Barat. Di tingkat Provinsi ini, justru saya tak lupa menyinggung sejarah Pesisir Selatan dan Kebudayaannya.

 

Pesisir Selatan memiliki kekayaan budaya benda (tangible) dan tak benda (intangible). Sudah cukup banyak dicatat resmi sebagai warisan budaya benda dan tak benda Nasional. Kekayaan budaya itu menyebar secara integral, pada 3 wilayah kultur (budaya) yang mempunyai ciri spesifik integralistik. Pertama, Wilayah Kultur Bayang (meliputi wilayah budaya Tarusan, budaya Bayang dan budaya IV Jurai). Kedua, Wilayah Kultur Banda X meliputi wilayah 10 kota pelabuhan/ pantai (yakni 1-Batangkapas, 2-Taluk, 3-Taratak, 4-Surantih, 5-Ampiang Parak, 6-Kambang, 7-Lengayang, 8-Palangai, 9-Sungai Tunu dan 10-Pungasan) dengan kalang ulunya Bungo Pasang dan Tumpuannya Air Haji. Ketiga, wilayah kultur Indrapura meliputi wilayah budaya Air Haji yang satu sumur dua galuak dengan Kerajaan Tigo Selo, Inderapura (Kerajaan/ Rajo Ibadat), Tapan (Rajo Adat) dan Lunang (Rajo Batin/ Rajo Alam).

 

Tentang sejarah dan kebesaran kebudayaan Pesisir Selatan dalam 3 wilayah kultur Pesisir Selatan, sesingkat pengalaman saya, sudah saya tulis, baik tulisan khas dan tulisan lepas masing-masing 37 Nagari baik publikasi berbagai media cetak dan elektronik, maupun dalam berbagai makalah nasional dan internasional, di samping juga tulisan termuat dalam beberapa buku saya tentang Pesisir Selatan. Di antara 130-han buku saya, terdapat beberapa buku tentang sejarah dan kebudayaan Pesisir Selatan, antara lain:

  1. Kawasan Mandeh Teluknya Damai, 1991 dan 1998
  2. Geo Wisata Kawasan Wisata, 2002
  3. Akomodasi Nilai Agama dan Adat dalam Kebijakan Pembangunan Kawasan Pariwisata Pantai Mandeh Resort, 2008
  4. Kerajaan Sungai Nyalo – Nagari Sungai Nyalo, 1998
  5. Master/ Action Plan 5 Kawasan Pengembangan Andalan Kabupaten Pesisir Selatan 2001-2010 (tim penulis Prof. Syafrizal, Dr. Fashbir M.Noorsidin, Dr. Alfian Sein, Ir.Indra Dewita dan saya dibantu Reva Mansarin dan Rahim), 2000
  6. Pesisir Selatan 1995-2000, (2000)
  7. Pesisir Selatan dari Sandiwara Batangkape hingga Satu Abad Perang Bayang, 1989
  8. Pencarian Identitas Budaya Pesisir Selatan, Budaya Nagari yang Suprasuku, 2003
  9. Detail Plan Pembangunan Budaya Pesisir Selatan, 2004
  10. Detail Plan Pembangunan Agama Pesisir Selatan, 2004
  11. Pesisir Selatan dalam Dasawarsa 1995-2005, (2005)
  12. Pulau Cingkuk, 1990
  13. Taluk, Kumpulan Tulisan, 1980, 2017
  14. Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (Syekh Bayang), 1980
  15. Sastra Islam, Kajian Syair Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandi, Syekh Bayang, 1999
  16. Kesultanan Inderapura dan Mandeh Rubiyah di Lunang, Spirit Sejarah dari Kerajaan Bahari hingga Semangat Melayu Dunia, 2002
  17. Model Birokrasi Kesultanan Inderapura Masa Keemasan Abad ke-16-18 (tim penulis bersama Prof. Dr. Gusti Asnan, Irhash A.Shamad dan Muhafril Musri), 2012
  18. Kerajaan-kerajaan di Pesisir Selatan Jejak Sejarah Perjuangan Nasional, 2017, 2018

 

Dari pengalaman penulisan buku sejarah dan kebudayaan Pesisir Selatan tadi, betapa diketahui Pesisir Selatan ini kekayaan sejarah dan budaya yang luar biasa dan berperanan besar di pentas sejarah perintis, gerakan dan perjuangan kemerdekaan bangsa. Mengenai kegemilangan budaya, terakhir ditemukan peneliti dan pakar manuskrip dan naskah klasik dari Unand Dr. Pramono, M.Hum. Dalam penelitiannya Pramono tahun 2023 kemaren menyebut, Pesisir Selatan memiliki tradisi intelektual terbesar di Sumatera Barat bahkan dimungkinkan di Nusantara.

 

Fakta Pesisir Selatan memiliki tradisi intelektual terbesar di Sumatera Barat itu, dibuktikan dengan ditemukan terakhir wacana text klasik dalam bentuk tumpukan ratusan manuskrip dan naskah klasik di wilayah kutur Tarusan. Naskah klasik itu menunjukkan pengalaman besar menulis dan memberikan fakta kebesaran sejarah dan kebudayaan Pesisir Selatan dalam dunia literasi dan tradisi intelektual.

 

Menggali content naskah klasik Pesisir Selatan itu, Pramono meminta saya untuk membaca dan menganalisis naskah Pesisir Selatan di Tarusan yang sudah didigitalisasinya itu. Justru menurutnya secara kategoris banyak menceritakan kebesaran sejarah kebudayaan Pesisir Selatan seperti yang saya ceritakan mengenai 25 kerajaan-kerajaaan termasuk nagari berajo-rajo dan berpenghulu di Pesisir Selatan, sebagai bagian kegemilangan sejarah Pesisir Selatan sejak awal (antara abad ke-14 dan abad ke-16). Sekaligus membuktikan bahwa Pesisir Selatan sudah berada di pentas sejarah perintis, kebangkitan, perggerakan dan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dipastikan Sejarah Pesisir Selatan lebih awal dari era kebangkitan bangsa oleh Budi Oetomo 1908 dan era kebangkitan yang digerakan berbagai organisasi bangsa termasuk Afdeeling Painan Bon di samping Young Sumatraten Bon lainnya yang mendukung era kebangkitan nasional Sumpah Pemuda 1928.

 

Dari pengalaman sejarah besar Pesisir Selatan di pentas sejarah perintis, pergerakan dan perjuangan kemerdekaan bangsa, banyak ditemukan waktu matematik (tanggal, bulan dan tahun) sebagai setting sejarah yang dapat dijadikan Hari Pesisir Selatan, bukan Hari Kabupaten. Dan, jauh lebih tua dari Sejarah Hari Jadi Kabupaten Pesisir Selatan yang sedang kita rayakan peringatannya ini. Namun kita sebagai bangsa yang besar, tetap hormat dan tak melupakan upaya dan jasa tim yang mengawali menggali sejarah Hari Jadi Kabupaten ini, karena bagaimanapun ini juga bagian dari sejarah Pesisir Selatan. Artinya kita senantiasa menghargainya sebagai sebuah perjuangan pengembangan spirit dan semangat membangun daerah dari perwujudan dan perayaan Hari Jadi Kabupaten kita ini.

 

Artinya dari fenomena sejarah dan kebudayaan Pesisir Selatan yang jauh lebih tua seperti disebut tadi, maka banyak dulu menimbulkan pertanyaan masyarakat, mengapa Pesisir Selatan mengambil Hari Jadinya momentum berdirinya Kabupaten PSK (Pesisir Selatan dan Kerinci) 15 April 1948 ditetapkan dengan Perdakab Pesisir Selatan Nomor 02 Tahun 1995 itu. Penetapan tanggal itu berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 1948 tanggal 15 April 1948, yang menjadi dasar berdirinya Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci, setelah Kerinci dan Inderapura digabung menjadi satu dalam wilayah Kabupaten PSK itu.

 

Penetapan HJK Pesisir Selatan ini, sejak awal terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat itu diakomadasikan dengan dua forum besar sebagai safety valve konflik, dipasilitas Bupati dan Ketua DPRD. Pertama Forum Seminar 12 Januari 2000, Mencari Hari Jadi Pesisir Selatan, yang menghadapkan kepada pilihan di antaranya berdasarkan: (1) Sejarah dari Perspektif Kebudayaan dan (2) Sejarah Pesisir Selatan dari Perspektif Politik dan Pemerintahan. Hasil Seminar ini dirumuskan, yang memperlihatkan banyak pilihan cemerlang bagi Hari jadi Pesisir Selatan. Rumusan Seminar ini dikunyah-kunyah cukup lama, selama 5 tahun, sampai dibawa ke Forum ke dua 6 April 2005 yakni: Lokakarya Hari Jadi Pesisir Selatan dari perspektif kebudayaan dan peradaban.

 

Lokakarya Pesisir Selatan tadi menawarkan pemilihan momentum Hari Jadi Pesisir Selatan pada 5 pilar sejarah besar Pesisir Selatan dari perspektif kebudayaan dan peradaban besar, secara kronologis sbb:

  1. Tanggal 19 Agustus 1621

 Peristiwa penting yang terjadi pada tanggal 19 Agustus 1621 adalah pernyataan penolakan tegas para pembesar kawasan Pantai Barat Sumatera (wilayah Pesisir Selatan sekarang) terhadap kekuatan asing dalam monopoli perdagangan emas, lada dan rempah lainnya. Dari sejarah ini melahirkan profil nasionalis Sultan Adil yang sangat tegas menolak kekuatan asing (Belanda dan Inggiris).

Ketika itu dua pelabuhan berfungsi penting, pertama pelabuhan Samudrapura Indrapura disebut pelabuhan lada terbesar dan embarkasi hajji, dan kedua pelabuhan Pulau Cingkuk disebut pelabuhan emas. Kedua pelabuhan penting di kawasan Pantai Barat Sumatera ini menjadi sentra percaturan kekuatan asing dalam ekonomi perdagangan, politik dan sosial budaya lainnya.

Justru wilayah sepanjang pantai (Pesisir Selatan sekarang ini) pernah makmur berkat laut. Pelabuhannya dapat menghidupkan dunia maritim yang menyejahterakan (baca M.B. Spalding (1899: 1, dalam Gusti Asnan, 2000: 6, lihat pula O. M. Munnick, 1912: 339, baca M. Joustra, 1923: 23-24). Warisan nilai sejarah ini dapat menjadi motives (pendorong) bagi Pesisir Selatan kembali menghidupkan kejayaan maritim yang pernah diraihnya sejak abad ke-17 itu.

  1. Tanggal 7 Juni 1663

Peristiwa yang terjadi pada tanggal 7 Juni 1663 adalah Perang Bayang yang sering disebut perang seabad (100 tahun). Diawali perlawanan rakyat dengan semangat nasionalis yang kuat menolak kehadiran Belanda yang membuat loji VOC pertama tahun 1662 di Pulau Cingkuk untuk kawasan (wilayah Sumatera Barat sekarang). Sekaligus menjadikan Pulau Cingkuk sebagai Residentieplaatsen (tempat kedudukan residen) setelah mendirikan loji VOC itu di sana.

Perang Bayang ini sekaligus memperkuat strategi lanjutan Sandiwara Batangkapas (1662) yang membidani Perjanjian Painan (Painan Contract, 6 Juli 1663), yang intinya tidak membuat aman Belanda dalam monopoli dagang dan praktektek kolonialisme. Mirip strategi “Nerve System” (sistim pengahancuran urat nadi). Belanda seperti hancur ditusuk dari dalam, bahkan tajua tagak-tagak (tertipu di siang bolong) dalam penerapan kebijakan dagang emas, lada dan rempah lainnya di Pantai Barat Sumatera.

Di era Groewenegen Gubernur Muda Belanda, mengambil kebijakan, memberikan kredit lunak menganjurkan bertanam lada dan melarang menanam kapas. Oleh orang Bayang kredit diambil, Belanda “dikerjain”, jangankan lada yang ditanam, malah lada yang sudah ditebas (ditebang) dan kredit dialihkan bertanam kapas yang tadi dilarang Belanda. Apa kejadiannya, lada yang ditunggu Belanda tak datang-datang, malah kapas yang muncul di pasar dagang, berakibat buruk, tekstil Belanda numpuk di Pulau Cingkuk. Kredit menunggak, ditagih: tinggi gunung seribu janji, memang lidah tidak bertulang. Fenomena ini semakin memicu api Perang Bayang, yang sering juga disebut Perang Kapas dan atau Perang Lada.

Perang Bayang ini meletus di Bayang, diperkuat basis surau Syekh Buyung Muda Puluik-puluik, kemudian meluas ke seluruh kawasan daerah pantai barat. Lebih dahsat perlawanan di Salido dan Batangkapas sampai ke selatan. Disebut salah seorang pimpinan grilianya (bolak balik dari Salido, Pulau Cingkuk, Bayang, Sungai Pagu, Batangkapas lainnya)  Sidi Naro yang oleh Belanda dicap sebagai Rajo Rampok (makamnya di pasar lama Batangkapas, Pasar Kuok, di samping Kantor KAN sekarang, dan ada juga yang menyebut tidak jauh dari Pulau Kareta, Pantai Carocok Painan sekarang).

Epi
  1. Tanggal 6 Juli 1663

Tanggal 6 Juli 1663 ini terjadi peristiwa pengesahan Perjanjian Painan (Painan Contract) yang berpangkal dari Sandiwara Batangkapas (1662). Sandiwara dimaksud, orang Pesisir berpura-pura bersekutu, memberikan kebebasan Belanda bergabung dalam dagang dan seolah mengusir kekuatan asing lainnya. Pelabuhan lada Samudrapura di jantung kekuasaan Kerajaan Indrapura, juga Tiku dan Pariaman dijaga ketat oleh rakyat. Mengawasi jangan sampai leluasa Gujarat dan Eropa (termasuk Belanda) menguasai pelabuhan lada (Baca De Leeuw dalam Painansch Contract, 20. Lihat juga Chritine Dobbin, 88-89).

Strategi tak terbaca dari Painan Contract itu sepertinya mengerjain Belanda, “diiyokan nan di urang dilaluan nan di awak” (disetujui keinginan orang, yang dilakukan untuk kepentingan kemakmuran bangsa). Sementara kekuatan pemuka disatukan, seperti Raja Adil dikunjungi Raja Muhammadsyah yang baru saja kembali ke singgasana Kesultanan Inderapura, tentulah sebuah strategi lagi yang merugikan Belanda.

Belanda tadinya berdagang emas, lada dan rempah lainnya di pantai Barat ingin mendapat untung besar, ternyata seperti “toke padi pirang”, ilia barago mudik basanggan, dikatokan gale lain balabo kironya pokok nan tamakan (ke hilir tawar menawar harga, ke mudik membeli barang, dikatakan dagang berlaba, kiranya pokok yang termakan). Hutang luar negeri Belanda menjadi membengkak, tak terbiayai dari hasil dagang di negeri ini.

  1. Tanggal 28 Januari 1667

Tanggal 28 Januari 1667 ini terjadi peristiwa sejarah yang amat penting, yakni  pertemuan tingkat tinggi antara Raja Minangkabau, Raja dan Penghulu Nagari di Kawasan Pantai Barat dihadiri Belanda. Solusinya adalah penguatan pengakuan terhadap eksistensi Pesisir Selatan sebagai bagian integral wilayah kultur Minangkabau, yang memaksa Belanda bagaikan menelan pil pahit.

Verspreet pimpinan VOC seketika amat terpukul menerima keputusan pemuka Minangkabau dan Pesisir itu, bahwa seluruh wilayah Kerajaan Minangkabau bulat dan integralistik. Sebelumnya Belanda mengawal wilayah Pesisir ini dibayang-bayangi kekuatan asing lainnya, kini sepertinya kenyataan senjata berbalik arah ditodongkan kepadanya. Belanda dibuat tidak aman oleh rakyat Pesisir Selatan. Bahkan Raja Putih putra Datuk Bandaro di Painan terus menggasak Belanda di Pulau ini untuk membayar pajak hasil perdagangan.

  1. Tanggal 6 Juni 1701

Pada tanggal 6 Juni 1701 ini merupakan konsolidasi rangkaian perlawanan rakyat Pesisir Selatan melawan Belanda. Rakyat Pesisir Selatan benar-benar marah atas kedok Belanda dengan menawarkan jasa memadamkan huru-hara antar nagari, namun secara terselubung ingin hendak memecah belah dan hendak menjajah. Pucak dan luapan kemarahan  rakyat dilampiaskan dengan membakar loji VOC di Indrapura. Semula semua staf VOC maun dibunuh, namun kemudian disisakan satu orang, dibiarkan hidup, diberi kesempatan untuk lari dan mengadu ke bosnya di kantor pusat VOC.

Sebenarnya sejak abad ke-15-16 masih banyak lagi pilar sejarah yang bisa dicatat sebagai keikutsertaan rakyat Pesisir Selatan di pentas sejarah nasional dalam perintisan, kebangkitan, pergerakan dan perjuangan bangsa untuk merdeka serta sampai hari ini berperan dalam pengisian kemerdekan dengan pembangunan Nasional di daerah.

Karena sebagian masyarakat menginginkan Hari Jadi Pesisir Selatan itu, tidak sekedar Hari Jadi Kabupaten (HJK), tetapi mengambilnya dari sejarah besar perjuangan daerahnya dari perspektif kebudayan dan politik. Peluang itu masih terbuka, justru 5 pilar sejarah Besar Perjuangan Pesisir Selatan ini, sudah ditawarkan lokarkarya Pesisir Selatan 6 April 2005. Tinggal lagi tindak lanjut dari Pemdakab kembali mengusulkannya karena dahulu terkendala pemahaman wawasan sejarah, untuk selanjutnya ditetapkan di DPRD dengan Perdakab yang baru yang bernuansa kejayaan kebudayaan dan peradaban.

Di sisi lain, dibanding dengan daerah lain misalnya dengan Kota Padang mengambil Hari Jadinya event pembakaran Loji VOC di Muaro 7 Agustus 1669, yang menunjukkan kepada dunia, Kota ini lebih tua. Padahal Padang sejak dahulu oleh Belanda disebut kota muda, justru dalam perspektif kesatuan wilayah administrasi pemerintahan sejak Belanda dan Jepang, Padang pernah berada dalam wilayah Pesisir ini 108 tahun yakni 105 tahun masa Belanda 1837-1942 dan 3 tahun masa Jepang 1942-1945.

Dengan pengambilan HJK Pesisir Selatan berpatokan HJK PSK 15 April 1948, dirasakan Pesisir Selatan malah sebaliknya terkesan lebih muda dibanding Padang yang Hari Jadinya tahun ini (2024) sudah mencapai ke-355 dihitung dari 7 Agustus 1669 dengan peristiwa pembakaran Loji Belanda di Muara dalam suasana Perang Pauh. Ironisnya, kesan ini memberi peluang penafsiran miring, bahwa Pesisir Selatan seperti naik di tengah jalan di pentas sejarah nasional, tidak turut dalam era perintis, kebangkitan, pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, padahal semangat heroik itu sudah dibangun dan ditunjukan kental sejak lama, setidaknya sejak abad ke-17. Apalagi diukur dengan kerajaan lama seperti Kesultanan Inderapura dari Kerajaan lamanya abad ke-4 SM disambung kerajaan Air Pura dan Kerajaan Sungai Nyalo setidaknya abad ke-14 lainnya, memberikan fakta Pesisir Selatan sudah mempunya sejarah besar yang cukup tua.

Justru sikap mempertimbangkan aspek kebudayaan ini penting dalam menjatuhkan pilihan hari jadi daerah, karena core daerah kita adalah kebudayaan. Pesisir Selatan seperti tadi kita sebut dari perspektif kebudayaan daerah ini rekor terbanyak mendaftarkan warisan budaya benda dan tak benda di level Nasional, membuat cemburu daerah lain. Terlebih terakhir (2023) Pesisir Selatan ditemukan memiliki kekayaan tradisi intelektua tertinggi di Sumatera Barat dan mungkin di Nusantara, dengan ditemukannya ratusan manuskrip dan naskah klasik di Tarusan yang membongkar sejarah besar Pesisir Selatan.

Namun kita yakin dan percaya Hari Jadi ini apapun bentuknya penting bagi setiap daerah. Dirayakan untuk menunjukkan dan mempertunjukkan supremasi kebudayaan pucak daerah sebagai bagian integral kebudayaan puncak Nasional, pada setiap event tahunan daerah yang direncanakan. Juga momentum untuk acara duduk bersama ranah – rantau serta investor dengan Pemdakab, untuk berbincang mengembangkan investasi untuk daerah terutama pembangunan kejayaan ekonomi dan kejayaan spiritual.

Dapat menjadi agenda, mencatat nilai-nilai warisan sejarah besar Pesisir Selatan yang mewariskan nilai pengalaman kejayaan ekonomi sekaligus kejayaan spiritual. Kejayaan spiritual surau-surau di Pesisir Selatan menjadi basis perjuangan melawan kolonialisme seperti surau Syekh Puluik-Puluik atau Tuanku Tarusan abad ke-17. Surau lainnya juga melahirkan ulama besar seperti Surau Pakih Hud dan Pakih Samun di Siguntur melahirkan ulama besar dan termasyhur ialah DR. HAKA (ayah dari Buya Prof. HAMKA) yang juga dikenal Nyiak Rasul itu berani melawan Jepang sampai ia dipenjara kolonial itu. Dan, banyak lagi surau lain mulai dari Siguntur sampai ke Lunang Silaut yang patut ditelusuri peranan dan fungsi dalam menpertebal semangat Islam dan Nasionalisme seperti surau yang melahirkan tokoh Digulis dan Pahlawan nasiona Ilyas Yakub.

Kejayaan ekonomi apa lagi bersanding dengan kejayaan maritim, yang membuat Pesisir Selatan berkat laut sebagai laluan (lintas perairan) dagang emas, lada serta rempah lain didukung pelabuhannya, pernah menciptakan kemakmuran rakyat berkat laut itu. Karenanya kita sekarang tidak lagi hendak mempersoalkan pluktuasinya angka kemiskinan, namun yang jelas dan seharusnya terus menerus mengentaskan kemiskinan. Amanat sejarah besar daerah ini, sudah memberikan pengalaman bagaimana memerangi kemiskinan dengan menciptakan kejayaan ekonomi tetapi juga kejayaan spiritual.

Kejayaan ekonomi dagang emas dan lada serta rempah lainnya didukung anugrah laut di Pesisir Selatan, penting pembicaraan ulang duduk bersama ranah rantau dan Pemdakab mencari solusi-solusi menjadi masukan muatan RPJM dan RPJP Pesisir Selatan kedepan. Seperti halnya pilihan komoditi dalam pengembangan kejayaan ekonomi. Amanat sejarah komoditi hasil kebun dulu, yang gemilang adalah lada, juga kapas dan rempah lainnya di samping tambang emas yang sekarang mendekati titik jenuh. Lada misalnya kegemilangannya sempat memancing percaturan dagang internasional di Pantai Barat pada dua pelabuhan lada di Inderapura dan pelabuhan emas di Pulau Cingkuk.

Pertanyaan penting adalah kenapa kita rakyat petani dan pekebun dan Pemda dengan dinas Perkebunannya tidak lagi menoleh dan berminat berkebun lada. Padahal lada sampai sekarang masih menjadi rempah perimadona dunia, yang di Indonesia sendiri produksinya sampai tahun 2019 masih dilansir besar mencapai 88.949 ton, melebih rempah primadona lainnya pala dan cengkeh.

Dalam dunia dagang rempah internasional tidak pernah lada menjadi komoditi perdagang gelap, tetapi malah masih dijuluki raja rempah (king of spices), yang harga per-kg mahal yang tingginya mencapai Rp 150.000,- meski dalam trend pluktuasi harga. Kajian seperti ini satu di antaranya tawaran agenda duduk bersama ranah rantau dan Pemdakab, mendiskusikan, masihkah memungkinkan, Pesisir Selatan kembali ke rempah lada?

Penulis adalah tokoh masyarakat Pesisir Selatan yang sehari-hari mengabdikan diri sebagai akademisi di UIN Imam Bonjol Padang.

Naskah ini disampaikan di rapat paripurna DPRD Kabupaten Pesisir Selatan dalam rangka peringatan hari jadi Pesisir Selatan yang ke 76 tahun 2024 di Painan Conventional Center, Painan.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.