123 Tahun Bung Hatta; Keteladanan dalam Bingkai Transparansi

Oleh Musfi Yendra

Hari ini, tanggal 12 Agustus 2025, bangsa Indonesia memperingati 123 tahun kelahiran Dr. Mohammad Hatta, lebih dikenal sebagai Bung Hatta. Sang Proklamator. Sosoknya tidak hanya menjadi teladan dalam perjuangan meraih kemerdekaan, tetapi juga kecakapan dan kemurnian moral dalam memimpin, khususnya dalam semangat keterbukaan informasi publik, sebagai bentuk tanggungjawab.

Bung Hatta sering menegaskan bahwa, “pahlawan yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita.”

Nilai ini mencerminkan keikhlasan yang menjadi fondasi kepemimpinannya. Ia menempatkan prinsip dan tujuan bersama di atas ambisi pribadi—sebuah nilai yang amat relevan dalam kewajiban transparansi bagi pemimpin publik.

Bagi Bung Hatta, kemerdekaan hakiki tak sekadar lepas dari penjajahan fisik, melainkan bebas dari ketertutupan, kebohongan, dan dominasi kekuasaan yang tidak terbuka.

Ia memahami bahwa demokrasi sehat hanya akan tumbuh ketika rakyat memiliki akses terhadap informasi yang benar—keterbukaan yang memungkinkan partisipasi cerdas dan kritis.

Sepanjang hayatnya, Bung Hatta menekankan bahwa “kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki.” Nilai kejujuran ini menjadi pilar utama bagi keterbukaan pemerintahan.

Semangat keterbukaan ini juga muncul dalam pendekatannya terhadap kebebasan intelektual. Ia pernah berkata: “aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” Ungkapan ini mencerminkan komitmennya terhadap pendidikan dan keterbukaan pemikiran, meskipun dalam keterasingan sekalipun.

Pemimpin yang menghargai kebebasan informasi adalah pemimpin yang menghargai rakyat sebagai makhluk berpikir—dan itulah Bung Hatta.

Dalam ruang-ruang pengambilan keputusan, keteladan Bung Hatta tampil dalam bentuk integritas dan akuntabilitas. Ia meyakini bahwa pejabat publik adalah pelayan, bukan penguasa. Bahkan, ketika situasi politik tidak lagi sejalan dengan prinsipnya, ia memilih mundur.

Pilihan ini bukan karena kekalahan, melainkan kemenangan moral: integritas lebih utama ketimbang mempertahankan jabatan.

Ketika keputusan kebijakan dibuat, Bung Hatta menekankan penyampaian yang logis, jujur, dan berdasarkan data serta kebenaran, bukan manipulasi atau retorika demi citra.

Nilai kesederhanaannya pun menjadi manifestasi keterbukaan moral. Dengan hidup sederhana—tanpa simbol keistimewaan—Bung Hatta menunjukkan tidak ada kepentingan pribadi tersembunyi dibalik kebijakan yang diambil. Dalam konteks pemerintahan modern, dimana publik sering mencurigai adanya benturan kepentingan, gaya hidup sederhana pemimpin seperti Bung Hatta menjadi fondasi membangun kepercayaan masyarakat.

Refleksi atas 123 tahun kelahirannya juga menegaskan peran keterbukaan dalam mencegah korupsi. Ia memperingatkan bahwa korupsi, “akan menghancurkan bangsa dari dalam,” dan hanya dengan informasi publik yang terbuka dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Rakyat yang diberi akses terhadap data anggaran, pengelolaan sumber daya, dan proses birokrasi, dapat menjalankan fungsi kontrol yang sehat. Tidak ada ruang bagi praktik koruptif atas informasi yang terbuka.

Bung Hatta juga mendidik masyarakat untuk memahami hak atas informasi. Menurutnya, rakyat yang cerdas bukan saja dilatih secara formal di sekolah, tetapi juga oleh pemerintah yang mewujudkan komunikasi jujur dan informasi yang mudah diakses.

Kini, bukan cukup hanya mempublikasikan data—informasi tersebut harus disajikan dalam bentuk yang mudah dimengerti dan dapat digunakan secara nyata oleh masyarakat.

Lebih jauh, aktualitas nilai Bung Hatta juga menyorot tantangan modern seperti disinformasi dan krisis kepercayaan publik. Sepanjang hidupnya, keterbukaan yang dipegangnya bukan tanpa syarat, melainkan lahir dari tulus melayani rakyat.

Ia menunjukkan bahwa transparansi bukan kelemahan—melainkan kekuatan yang memperkuat legitimasi pemerintahan.

Istilah “Indonesia merdeka” bukan tujuan akhir bagi Bung Hatta. Ia berkata: “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat.”

Ungkapan ini menegaskan bahwa kemerdekaan membawa tanggung jawab: memastikan pemerintahan yang terbuka dan memajukan kesejahteraan publik  .

Sesungguhnya, keteladanan Bung Hatta mengajarkan kita bahwa kepemimpinan sejati adalah mengabdi dengan kejujuran, kesederhanaan, dan keterbukaan—nilai yang lebih abadi daripada jabatan itu sendiri.

Dalam setiap peringatan hari lahirnya, Indonesia kembali diingatkan untuk tidak sekadar mengagumi, tetapi juga meniru dan menghidupkan nilai-nilai tersebut dalam tata pemerintahan dan kehidupan bernegara.

Penulis adalah; Ketua Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.