KEMAJUAN teknologi berimplikasi besar dalam perkembangan media massa. Media-media yang semula cuma berbasis cetak maupun penyiaran mulai melirik jagat internet sebagai ranah baru yang prospektif dan lahirlah banyak media online atau media siber. Media siber melengkapi media cetak, radio, dan televisi.
Dengan konsep jurnalisme yang berbeda dengan media konvensional, media siber menghadirkan kebaruan dalam jagat jurnalistik: bukan hanya mengadaptasi media cetak menuju layar datar, namun juga menggabungkan cetak, suara, dan gambar. Konvergensi ini mendorong kelahiran era multimedia sekaligus mengintroduksi konsep jurnalisme siber.
Dalam perspektif hukum, sifat media siber yang berbeda dengan media konvensional memunculkan konsekuensi etis maupun konsekuensi hukum yang berbeda pula. Seturut perkembangannya yang begitu pesat, jurnalisme siber sudah selayaknya mempunyai aturan sendiri.
Sebelum tahun 2012, pengaturan jurnalisme siber masih merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik alias UU ITE. Namun, jadinya tidak jelas mana aturan hukum yang lex spesialis dan mana aturan hukum yang lex generalis sehingga aturan hukum yang berkaitan dengan jurnalisme siber masih parsial.
Perkembangan jurnalisme siber sangat dinamis. Saking dinamisnya, belum ada peraturan baru yang mampu mewadahi atau menjadi payung hukum bagi kegiatan jurnalisme siber secara proporsional: menjamin jurnalis media siber melaksanakan semua kegiatan profesional mereka dan melindungi masyarakat dari dampak negatif jurnalisme siber itu sendiri. Aspek pertama berkaitan dengan kemerdekaan pers. Aspek kedua tentang peran serta masyarakat untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
Tapi bersyukurlah. Di Jakarta pada Jumat, 3 Februari 2012, Dewan Pers bersama organisasi pers, pengelola media siber, dan masyarakat menyusun Pedoman Pemberitaan Media Siber. Pedoman ini kemudian dikukuhkan dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/III/2012 tanggal 26 Maret 2012.
Kendati belum sempurna, Pedoman Pemberitaan Media Siber sudah cukup memadai untuk dijadikan sebagai aturan main media siber. Bahkan, dalam mukadimah Pedoman Pemberitaan Media Siber sangat jelas disebutkan regulasi media siber berkhidmat pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Keberadaan media siber di Indonesia juga merupakan bagian dari kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers.
Media siber memiliki karakter khusus sehingga memerlukan pedoman agar pengelolaannya dapat dilaksanakan secara profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Pedoman ini mencakup sembilan hal, yaitu ruang lingkup; verifikasi dan keberimbangan berita; isi buatan pengguna (user generated content); ralat, koreksi, dan hak jawab; pencabutan berita; iklan; hak cipta; pencantuman pedoman, serta sengketa. Dari sembilan hal ini, verifikasi dan keberimbangan berita, serta pencabutan berita patut menjadi perhatian penting, selain mengenai ralat, koreksi, dan hak jawab.
Media siber identik dengan pemberitaan yang cepat. Kecepatan dianggap menjadi keunggulan media siber karena memanfaatkan internet sehingga berita dapat dibaca kapan saja tanpa batasan waktu. Saat terjadi suatu peristiwa, media siber pun berpacu dengan waktu untuk selekasnya mewartakan peristiwa itu kepada khalayak. Inilah yang kemudian menjadi brand image media siber di Indonesia.
Namun, masalahnya, sebuah berita yang disampaikan secara cepat belum tentu sebuah berita yang akurat. Kecepatan memang berimplikasi terhadap akurasi informasi yang terkandung dalam berita. Media siber yang semata-mata mengandalkan kecepatan justru sering menyampaikan informasi yang tidak akurat.
Kondisi media siber di Indonesia berbeda jauh dengan media serupa di Amerika Serikat, misalnya. Media siber di sana tetap mempraktekkan penulisan bermutu setara dengan media cetak. Nilai kecepatan yang dianut media siber Amerika Serikat harus berformula 5W (what, when, where, who, why) dengan cepat kepada pembaca. Kecepatan bukan berarti menyampaikan informasi sepotong-potong, terus disambung-sambung di pemberitaan berikutnya.
Informasi sepotong bisa menimbulkan persepsi berbeda di masyarakat dan bisa membahayakan karena pembaca bisa menganggap informasi tersebut sebagai sebuah berita utuh dan pada akhirnya membentuk opini yang belum tentu benar dan akurat.
Verifikasi merupakan esensi jurnalisme. Setiap berita harus melalui verifikasi supaya pemberitaan lebih akurat. Dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber disebutkan ada empat syarat pengecualian untuk berita yang harus diverifikasi, salah satunya adalah bila subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya atau tidak dapat diwawancarai.
Namun, media siber harus memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan tersebut dimuat pada bagian akhir berita yang sama dan dibuat dalam tanda kurung dengan menggunakan huruf miring.
Berbeda dengan media cetak yang berbentuk fisik dan disebarluaskan dengan cara diperbanyak, media siber cukup diakses lewat jaringan internet di website media bersangkutan. Proses ini dapat dilakukan oleh banyak pembaca sekaligus dan bahkan dalam waktu bersamaan.
Dalam konteks itu pencabutan berita di media siber sangat mungkin terjadi karena internet memberikan peluang lewat sistem yang tersedia. Berita yang tersimpan dalam bentuk data dapat dihapus kapan saja menurut keinginan pengelola media siber. Sistem pencabutan berita di internet bisa berbahaya apabila tidak digunakan dengan penuh tanggung jawab. Media siber bisa dengan gampang ogah bertanggung jawab jika melakukan kesalahan saat menyampaikan sebuah berita. Mereka bisa seenaknya mencabut berita tanpa memedulikan kode etik. Bila ada pihak yang protes, misalnya, pengelola media siber bisa langsung menghapus berita yang diprotes.
Pedoman Pemberitaan Media Siber melarang pencabutan berita yang sudah dipublikasikan karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi kecuali yang terkait dengan masalah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban, atau berdasarkan pertimbangan khusus yang ditetapkan Dewan Pers. Pencabutan berita pun wajib disertai dengan alasan pencabutan dan diumumkan ke publik.
Pencabutan berita oleh media siber asal harus pula diikuti dengan pencabutan berita oleh media siber lain yang mengutip berita dari media siber asal.
Walau pedoman ini tidak mengikat dan tanpa menyebutkan sanksi bagi pelanggarnya, pengelola media siber sangat diharapkan bekerja profesional sesuai dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Media siber yang profesional tentu mampu memberikan informasi bermutu dan dapat dipercaya.
Pedoman Pemberitaan Media Siber merupakan ikhtiar untuk meningkatkan mutu pers Indonesia. Media siber yang profesional dan bermutu tentu ikut menentukan hitam-putihnya wajah pers Indonesia secara keseluruhan. ABDI PURMONO
sumber: tabloidbijak.com