Sesat Pikir Reformasi Birokrasi
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membuat sebuah keputusan yang mengejutkan banyak orang. Jenderal polisi ditunjuk menjadi penjabat sementara di Sumatera Utara dan Jawa Barat untuk menggantikan gubernur dan wakil yang ikut Pilkada 2018.
Argumentasi yang diajukan Mendagri tampak mengada-ada. Dia meyakini bahwa penunjukan jendral polisi dapat memperkokoh stabilitas di daerah-daerah rawan konflik Pilkada. Seorang Jenderal Polisi yang sebelumnya biasa bertugas di ruang lingkup keamanan diberi kepercayaan memimpin birokrasi di suatu Provinsi.
Meski Kemendagri masih dapat mencari celah hukum, namun langkah ini jelas sebuah kejahatan politis atas apa yang sudah lama dibangun bersama sebagai amanah reformasi.
Ada banyak ASN lulusan Sekolah kepamongan (IPDN) berkutat dengan teori dan praktek pemerintahan. Lewat tanggungan APBN, setiap tahun sekolah tersebut menyuplai tenaga terdidik dengan kurikulum teruji ke berbagai instansi pemerintah.
Pemerintah tampak mempertanyakan produk yang sudah dihasilkan sendiri. Alasan stabilitas yang diajukan oleh Menteri Tjahjo merupakan sentilan yang tidak lucu kepada alumni IPDN.
Dengan bahasa lain, Mendagri mengatakan pamong yang dihasilkan oleh IPDN belum mampu menjadi pemimpin yang mumpuni untuk menjaga stabilitas daerah. Di sisi lain, alumnus Akademi Kepolisian malah dianggap mampu menyelenggarakan tugas pemerintahan.
Secara tidak langsung, Mendagri ingin menyampaikan alumni Akademi Kepolisian/AKABRI memiliki pemahaman mengenai aturan, petunjuk pelaksanaan, dan petunjuk teknis pemerintahan daerah yang lebih baik daripada alumni IPDN.
Jangan sampai, pilihan yang diambil Mendagri ini juga berdampak nantinya terkait anggaran negara. Jika memang pemimpin yang bisa menjaga stabilitas ada di Kepolisian, maka kemendagri akan ikut menganggarkan APBN untuk AKPOL dan PTIK saja.
Maka, fungsi lembaga negara akan semakin banyak tumpang-tindih.
Fungsi birokrasi dan pemerintah daerah adalah mengatur distribusi sumber daya negara. Artinya, pejabat (PJ) yang ditunjuk untuk menjalankan peran pemerintah provinsi saat pemilu
Bukan hanya untuk menjaga stabilitas dan ciptakan kondusivitas. Tentu, pemimpin daerah butuh kompentensi dalam bidang pemerintahan untuk mencapai target-target yang sudah direncanakan.
Tugas seorang PJ Gubernur juga harus mampu membangun komunikasi dalam koridor aturan yang tepat dengan pemerintah kota/kabupaten. Pemerintah provinsi tidak bisa berjalan sendiri untuk mengeksekusi kebijakan
Terutama terkait kepentingan program-program strategis nasional. Keputusan ini sebenarnya berpotensi mengganggu stabilitas nasional.
Selain itu, kompetensi terkait birokrasi juga harus dimiliki oleh PJ Gubernur.
Ia akan bertanggung jawab atas penggunaan APBD yang berdampak luas pada kepentingan warga. Pembangunan akan sulit berjalan bila anggaran tidak terkelola dengan benar. PJ gubernur akan mengomandoi seluruh ASN yang ada di daerah agar bekerja dengan benar.
Kultur birokrasi dan kepolisian memiliki banyak perbedaan yang mendasar. Organisasi perangkat daerah tidak memiliki garis komando yang sentralistis, layaknya polisi. Tafsir terhadap aturan jauh lebih dinamis dalam pemerintahan daerah, dibandingkan institusi kepolisian, yang merupakan total institution.
Posisi tertinggi yang dicita-citakan oleh alumni IPDN adalah menteri atau kepala daerah. Namun, politisi sering kali menduduki posisi tersebut. Karena tidak rela kehilangan jabatan, alumni IPDN jarang sekali berani maju di Pilkada sebelum pensiun.
Apa yang dilakukan oleh Mendagri merupakan sebuah sentilan menyakitian bagi lulusan sekolah kepamongan dan sekolah kajian pemerintahan lainnya yang tersebar di berbagai universitas. Jika kondisinya seperti ini, cukuplah daftarkan saja anak-anak bangsa ke depan ke Akademi Kepolisian (Akpol), maka mereka akan bisa segalanya.
Lulusan IPDN dan studi pemerintahan lainnya di daerah akan selalu menemui jalan buntu jika kondisi seperti ini dapat dibenarkan. Jangankan posisi yang lebih strategis, PJ gubernur saja masih belum mendapatkan kepercayaan oleh pemerintah pusat.
Di sisi lain, birokrat karir di daerah juga harus menjadi bawahan seorang polisi. Tentunya, kepercayaan diri mereka yang sudah bekerja bertahun-tahun dapat terganggu. Friksi di dalam tubuh birokrasi sangat memungkinkan terjadi.
Ada kegagapan argumentatif yang dialami oleh Mendagri karena keputusan yang dibuat hanya terkesan mengamankan kepentingan pilkada. Mendagri beralasan jumlah pejabat madya setara eselon 1 di Kemendagri yang sangat terbatas
Maka itu, seharusnya ada banyak eselon 1 di luar Kemdagri yang bisa diperbantukan untuk menjadi seorang PJ Gubernur. Selain itu, sekretaris daerah yang tidak ikut Pilkada juga masih bisa ditunjuk.
Selain itu, Kemdagri juga masih bisa meminta eselon 1 dari Kementrian lain yang relevan, seperti Kementrian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementrian Bappenas, atau Kementrian Desa.
Kalau mau menjaga stabilitas, eselon 1 Kementrian Pertahanan atau Badan Intelejen Negara juga masih bisa ditunjuk.
Kekhawatiran yang terjadi adalah Mendagri memiliki agenda tersendiri dalam usulan dua Jenderal Polisi ini.
*Kembalikan Maruah*
Presiden Jokowi sudah seharusnya menolak usulan yang diajukan Mendagri karena akan merusak muruah yang dimiliki Eksekutif, Kepolisian dan juga Presiden. Selain itu, ini jelas mencederai semangat reformasi birokrasi.
Secara hukum memang tidak ada masalah menunjuk PJ Gubernur dari pihak Kepolisian, akan tetapi ada banyak Pamong dan ASN yang bisa menjalankan peran tersebut dengan kompetensi dan profesionalisme yang mereka miliki.
Jika seandainya bukan mereka yang mengisi posisi tersebut, lantas peran apalagi yang bisa mereka lakukan? Kalau pemerintah pusat saja tidak memberikan kepercayaan kepada ASN, masyarakat pun nantinya juga semakin tidak percaya kepada mereka.
Pemerintah jangan malah mencederai demokrasi yang telah lama kita bangun bersama.
Penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN).