Belajar dari Irwan Prayitno

Sebagai pemimpin, Irwan Prayitno (IP), Gubernur Sumatera Barat, multitalenta. Buya, politisi, akademisi, pengusaha, penulis, olahragawan, seniman, dll. Penampilannya justru tak mencirikan itu semua. Buya, misalnya. Penampilannya tak kebuyaan. Begitu juga politisi, dll. IP telihat lebih sederhana.

Sayang, saat ini IP tengah menghadapi masalah. Ia dituduh menerima uang dari tersangka SPJ fiktif, Yusafni. Bukan diungkap di depan sidang, tapi luar sidang. Tapi, IP sudah menempuh jalur hukum, melaporkan pihak-pihak yang dianggapnya merugikan. Saya percaya, IP tak terlibat.

Setahu saya, IP itu orang yang teliti, rinci, njlimet. Beberapa kali “titian barakuak” seperti sengaja dibuat, ia selamat. Ada tangan Tuhan! Betul. Ia dapat menempatkan diri pada tempatnya. Suportif, kadang tanpa basa-basi. Tapi tulisan ini tak bermaksud menepis tuduhan terhadap IP itu.

Belajar dari IP ialah belajar cara memimpin. Masih ingat dengan Ir. Joni, Kadis Pertanian Sumbar? Dia itu tak tergantikan, malah sampai masa pensiun. Perlu diketahui bahwa tak satupun elite PKS Sumbar yang menghendaki Ir. Joni ada di posisi itu, sejak IP terpilih sebagai Gubernur.

Bayangkan, satu kepengurusan dihadang IP! Yang ngotot-ngotot langsung disemprot oleh IP: “Bukan antum yang akan mempertanggungjawabkan amanah ini, di hadapan Allah, tapi ana!” Itu tegas. Biasanya yang ngotot-ngotot langsung diam atau menggerutu dalam hati. Debat selesai.

Bukan IP tak tahu, bahwa Ir. Joni dulunya termasuk “tim sukses” Marlis Rahman. IP tahu, malah sangat tahu. Sudah menjabat pun, Ir. Joni bekerja untuk siapa? IP juga tahu. Tapi, IP tetap mempertahankan Ir. Joni, malah sampai masa pensiun, karena ia memiliki kapasitas dan loyalitas.

Dua hal itu, diuji langsung oleh IP. Apalagi, IP seorang psikolog, dan profesornya bidang SDM pula. Maka, tak ada soal dengan “tim sukses-tim suksesan”. Selama memiliki kapasitas dan loyalitas, selama itu dia layak. Kecuali, ada nama-nama yang lebih layak dibandingkan yang lain.

Tak ada soal, suka tidak suka, apalagi dendam politik. Ini yang mau dipikul ialah amanah. Yang dipertanggungjawabkan tak hanya di hadapan manusia, tapi juga Allah. Jadi, tak ada main-main. Sesiapa yang paling bisa memikul amanah, dialah yang diprioritaskan. Siapapun orangnya.

IP sukses memisahkan antara urusan internal dan eksternal; privat dan nonprivat, pribadi dan masyarakat, emosional dan rasional. Kalau berpatokkan pada emosional, pribadi, privat, dan internal, maka selamanya Ir. Joni tak akan pernah menjabat masa IP. Tapi, bukan itu yang terjadi.

Dan itu, tak hanya berlaku dalam satu bidang saja, tapi semua bidang. Kasus Ir. Joni yang paling mudah, dijadikan sebagai contoh. Termasuk, saat IP jujur mengakui beberapa keunggulan Presiden Jokowi saat berkunjung ke Sumbar beberapa bulan lalu yang sempat menuai pro-kontra.

Kok terlambat? Tumben? Kenapa baru sekarang? Kemana saja selama ini? Ada motif apa di balik itu? Dan macam-macam lainnya. Sesungguhnya itu implementasi dari sikap IP yang bisa memisahkan diri dari urusan pribadi-kelompok dan masyarakat. IP sangat objektif dalam menilai.

Seharusnya, sikap ini didukung dan diteladani semua pihak. Sikap ini pula yang membuat IP kurang disukai di internal PKS. Banyak keinginan-keinginan dari internal PKS yang patah dan gugur, berhadapan dengan objektivitas seorang IP. IP begitu kokoh bila sudah menyangkut amanah.

Bagi internal, mungkin ini soal keberpihakan, tapi bagi IP ini soal amanah, soal tanggung jawab. “Kapan saya tidak berpihak!” Tanya IP di suatu forum internal. Siapa yang teleponnya tak saya angkat dan SMS-nya tak saya balas, “tanya IP lagi. Biasanya yang lain hanya bisa diam saja.

Makanya, dengan sikap ini, saya percaya, IP tak terlibat dengan tuduhan Yusafni itu. Apalagi, uang mengalir kepada orang lain pula. Tapi, silakan hukum berproses mencari keadilannya untuk semua. IP juga telah mengadukan kepada polisi pihak-pihak yang menuduhnya. Itu juga pertanda.

Sikap kepemimpinan seorang IP ini pantas dicontoh. Tapi, menurut saya, yang lebih dulu mencontohnya ialah internal PKS itu sendiri, terutama di Pusat. Hentikanlah, kebijakan-kebijakan yang diambil hanya karena, suka tidak suka, apalagi dendam, terhadap orang yang dulu tidak kita sukai. Apalagi hanya terhadap orang internal sendiri. (Penulis adalah pengamat sosial politik di Padang, Sumatera Barat)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.