“ketika suasana mulai tak kondusif, sejumlah perantau Sumbar bersama warga asli di sana yang berada di Pasar Baru Wamena bersiap dengan peralatan seadanya”
JURNAL SUMBAR | Padang – Banyak cerita dan kisah dari perantau Sumbar yang menjadi korban terdampak kerusuhan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. Mulai dari sembunyi di atas loteng atau di balik kios, bahkan ada yang pura-pura meninggal ketika tempat persembunyiannya diporak-porandakan perusuh.
Duka dan lara menyelimuti mereka, mengadu nasib di tanah Papua. Pulang karena terdampak kerusuhan, menyisakan kesan yang berbeda-beda.
Kali ini, kisah salah seorang perantau Sumbar, Firman (38) bersama rekannya, yang mengadang para pelaku kerusuhan, hingga akhirnya mereka selamat.
Firman merupakan salah seorang perantau Sumbar yang telah menginjakkan kaki di Tanah Cendrawasih itu sejak 2007 silam. Bahkan, Wamena sudah menjadi kampung kedua bagi Firman. Perkelahian karena isu-isu kecil sudah makanan sehari-hari. Namun, peristiwa yang dialaminya beberapa waktu belakangan merupakan hal yang pertama kali terjadi.
Diceritakan Firman, ketika suasana mulai tak kondusif, sejumlah perantau Sumbar bersama warga asli di sana yang berada di Pasar Baru Wamena bersiap dengan peralatan seadanya. Di sekeliling, asap mengepul, sejumlah toko, kios, dan rumah warga sudah dibakar.
Suasana hiruk, puluhan perusuh mulai mengarah ke Pasar Baru Wamena, demi menyelamatkan keluarga dan harta benda, sejumlah perantau Sumbar dan masyarakat Wamena menuju depan pasar, mereka mengadang para perusuh agar tak masuk kawasan mereka.
“Pagi itu, saya baru buka kios, baru berjualan. Lalu, mendengar ada yang menyerang. Kami semua (di Pasar Baru Wamena) segera mengambil senjata seadanya, kami adang, hingga mereka tak masuk ke wilayah Pasar Baru,” ujar Firman, saat sampai di Bandar Udara Internasional Minangkabau (BIM), bersama anak dan istri, serta 127 perantau lainnya sekitar pukul 01.50 WIB dini hari, Jumat (4/10/2019).
Para perusuh yang memporak-porandakan sebagian pasar yang ada di Wamena tidak berani masuk Pasar Baru. “Kami adang, sehingga mereka mundur. Pasar Baru Wamena selamat dari amukan massa tersebut,” jelasnya.
Setelah itu, sejumlah perantau Sumbar yang ada di Pasar Baru bergegas menjemput anak-anak mereka ke sekolah secara bersama-sama.
Lalu, kembali ke rumah untuk berkemas dan segera mengungsi. “Setelah para perusuh itu mundur, kami langsung menjemput anak-anak kami di sekolah, dan kembali ke rumah,” ungkapnya.
Tidak lama kemudian, sejumlah aparat keamanan dari TNI datang untuk menyelamatkan. Mengevakuasi warga Pasar Baru ke pengungsian. “Kami juga dibantu anggota Makodim 1702 Jayawijaya, lalu kami dibawa ke pengungsian sementara di Makodim tersebut menggunakan truk, karena jarak antara Pasar Baru dan Makodim hanya sekitar 1 kilometer,” ucapnya.
Setelah berada di pengungsian sementara, Firman bersama istri dan 3 orang anaknya diberangkatkan ke Jayapura, ke tempat pengungsian sebelum pulang ka Ranah Minang bersama ratusan perantau lainnya.
“Sepekan kami berada di Jayapura (pengungsian). Lalu datang bantuan dari Aksi Cepat Tanggap (ACT), kami dibawa pulang ke Padang, ke kampung halaman,” jelasnya.
Menurut Firman, kerusuhan yang terjadi di Wamena bukanlah dilakukan warga setempat (Wamena). Sejak 2007 lalu, banyak orang yang ia kenal di sana. Namun, para pelaku bukanlah warga sekitar Wamena. “Selama ini, kami hidup berdampingan dengan damai. Masyarakat Wamena ramah-ramah. Peristiwa kemarin itu sangat mengejutkan, saya juga tidak tahu apa persoalan sebenarnya,” ujar Firman.
“Ya, hampir sama dengan kita. Tergantung dengan pembawaan kita, kalau kita baik, mereka juga sangat baik,” ungkapnya.
Dikatakan Firman, setelah suasana mulai kondusif, ia dan keluarga berencana kembali ke Wamena. “Iya, saya akan kembali ke sana, tunggu kondusif dululah. Harga benda kita masih ada di sana, tidak mungkin ditinggalkan begitu saja.” ucapnya.
Diketahui, Firman di Wamena bekerja sebagai pedagang sembako, pekerjaan itu sudah ia lakoni sejak 12 tahun yang lalu. “Kalau untuk penghidupan (ekonomi) di sana, lumayanlah. Jika memungkinkan, anak dan istri juga akan kembali dibawa ke Wamena,” jelasnya.
Untuk sementara waktu, kata Firman, dia dan keluarga menenangkan diri dulu di kampung halaman, sekaligus melepas rindu bersama keluarga besar.
Selain itu, Yusnaniar (38), istri Firman, mengaku betah berada di Wamena. “Kalau di sana itu, perasaan saya nyaman saja, sudah seperti kampung sendiri,” ujarnya.
Firman dan Yusnaniar merupakan warga asli Pesisir Selatan. Mereka merantau ke Wamena untuk berdagang, anak-anak mereka juga besar dan sekolah di Wamena. “Sampai suasana kondusif, untuk sementara kami di kampung dulu. Anak-anak juga diliburkan hingga tahun ajaran baru. Jadi, amanlah,” jelasnya. sumber;kumparan/Zulfikar
editor;saptarius