JURNAL SUMBAR | Jakarta – Presenter Rahma Sarita membuat program baru. Mantan pembawa berita TVOne itu meluncurkan program Sarita, akronim dari “Sarinya Berita”. Program yang tayang di Realita TV ini membahas berita-berita terhangat yang didiskusikan dengan para narasumber yang kompeten di bidangnya.
Untuk episode perdana, Sarita membahas kasus penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. Kasus ini sangat menggegerkan, mengingat Wiranto seorang pejabat tinggi negeri yang bahkan membidangi masalah keamanan rakyat pula.
“Kita akan membahas perkembangan informasi di tanah air yang entah mengapa akhir-akhir ini rasanya bertubi-tubi ditimpa masalah, mulai dari Wamena, gempa Ambon, lalu gelombang demo mahasiswa dan anak STM yang memakan korban jiwa. Terakhir penusukan pejabat negara, Menko Polhukam Wiranto yang tentu menggegerkan,” kata Rahma saat pengambilan gambar edisi perdana Sarita di Graha Cek&Ricek, Meruya Ilir, Jakarta Barat, Sabtu (12/10) siang.
Untuk episode perdana, Rahma mengundang pengamat politik Rocky Gerung, dan pegiat media sosial Bigardo Sinaga. Dalam bincang-bincang itu, Rachma memandu kedua narasumber membahas kasus penusukan Wiranto, yang memang sedang membetot perhatian khalayak umum. Sarita secara spesifik membahas respon publik terhadap kasus tersebut.
Rocky menilai, kasus ini seharusnya mengundang empati publik. Namun ia mempertanyakan mengapa akhirnya publik memandangnya secara skeptis, bahkan ada juga yang secara ekstrim menyebut peristiwa itu sebagai rekayasa.
“Mengapa rakyat kehilangan empati? Karena serangkaian peristiwa yang berujung kepada kebohongan membuat rakyat memilih untuk tidak percaya. Mereka justru melihatnya sebagai sensasi, kekonyolan yang diakibatkan oleh pemerintah itu sendiri,” ujar Rocky.
“Saya sendiri telah mengutarakan di Twitter setelah peristiwa ini terjadi. Prinsip pertama, rawat korban. Semoga luka-luka Pak Polisi, Pak Wiranto, dan warga lekas sembuh. Prinsip kedua, fokus pada peristiwa penyerangannya. Jangan tambahkan istilah-istilah insinuasi,” kata Rocky, mengulang cuitannya di media sosial yang ia unggah, Kamis (10/10) lalu.
Pada kesempatan yang sama, Birgaldo menilai respon publik yang skeptis memandang kejadian ini tak lepas dari peristiwa-peristiwa politik yang terjadi belakangan. Menurut dia, masyarakat masih terbelah lantaran perbedaan pandangan dan posisi politik.
“Mulai dari kasus Ahok, lalu Pilkada, Pemilu, dan Pilpres. Masyarakat masih terbelah dan seolah-olah justru tidak percaya dengan fakta sebenarnya yang seharusnya mengundang empati,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah menjenguk Wiranto di Paviliun Kartika RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta pada Jumat (11/10). Saat ini kondisi mantan Panglima TNI itu berada dalam kondisi stabil.
Presiden berharap agar aparat keamanan meningkatkan keamanan kepada para pejabat negara. Presiden meminta kepolisian mengusut tuntas insiden penusukan kepada Wiranto. Jokowi juga mengajak masyarakat untuk memerangi terorisme dan radikalisme di negeri ini.
BIN Kecolongan
Dalam lanjutan diskusi Sarita, Rocky menilai bahwa pihak Badan Intelijen Negara (BIN) telah kecolongan. Pasalnya, tersangka Syahrial Alamsyah (SA) alias Abu Rara dan istrinya Fitria Andriana bisa berbaur dengan masyarakat lain yang menanti rombongan Wiranto.
“Bagaimana BIN menyatakan bahwa tersangka adalah anggota JAD (Jamaah Ansharut Daulah) dengan cepat? Kalau memang dia sudah terdeteksi sebagai sel dari JAD, seharusnya sebelum pisau itu menusuk Pak Wiranto, tersangka sudah ketahuan dan bisa diamankan,” ujarnya.
“Kalau saya jadi presiden, sebagai kepala negara maka saya akan mencopot Kepala BIN. Bukannya justru melontarkan pernyataan yang seolah-olah membelah masyarakat, bahwa ada kelompok radikal dan semua jadi saling tuding,” tambah Rocky.
Sementara itu, Birgaldo menilai peristiwa penusukan ini tak lepas dari radikalisme yang memang perlahan-lahan mulai mengakar di tengah masyarakat. Ia berharap kasus ini bisa diusut hingga tuntas.
“Tak bisa dimungkiri, ada kelompok radikalisme yang berusaha mendelegitimasi kekuasaan pemerintah yang sah. Stigma radikalisme itu memang ada karena faktanya seperti itu,” ujarnya. Rilis/smsi