Mengisi Ruang Kosong, Refleksi di Hari Juang TNI AD

TAHUN 1945 silam, tepatnya dari tanggal 12 – 15 Desember, meletus perang besar antara pasukan TKR Indonesia dengan pasukan sekutu. Sasarannya adalah merebut Ambarawa, daerah di Jawa Tengah. Perang heroik ini dipimpin oleh Jenderal Soedirman sekaligus menunjukkan kekuatan tentara Indonesia yang tak mau mengalah dari kekuatan besar Sekutu. Dengan segala keterbatasan, Ambarawa berhasil direbut yang kemudian terkenal dengan sebutan Palagan Ambarawa. Peristiwa bersejarah inilah yang kemudian dikenal sebagai Hari Infanteri TNI AD dan kemudian diganti dengan sebutan Hari Juang Kartika, dan sekarang menjadi Hari Juang TNI AD. Sejatinya juga inilah hari bersejarah yang dinobatkan sebagai bukti kiprah TNI AD dalam perjuangan negara ini.

Kini, 74 tahun sudah peristiwa itu terjadi. Setiap tahun selalu diperingati, khususnya kalangan TNI AD, bentuk sikap untuk tidak pernah melupakan sejarah. Tetapi peringatan tidak cukup hanya seremonial, tidak cukup hanya bernostalgia ke masa lalu. Berulang tahun harusnya diimbangi dengan pengetahuan apa yang sudah dan apa yang harus diperbuat di masa datang, khususnya dalam kehidupan bernegara.

Pada saat ini, kehidupan sudah berubah. Iklim bernegara sudah berganti. Perjuangan bersenjata yang dulu gencar dilakukan, sudah tidak terlihat terlalu relevan lagi secara nyata. Paradigma tentara, khsususnya TNI AD juga mulai bergeser. Dulu kekuatan tempur yang jadi andalan, sekarang pembinaan teritorial yang jadi prioritas. Apapun itu, TNI AD tetap jadi kekuatan penting di negara ini, komponen utama bagi pertahanan Indonesia.

Mengacu pada peristiwa Palagan Ambarawa, banyak hal penting bisa diambil yang menjadi pedoman dalam aktifitas prajurit di era milineal ini.

Pertama, keterbatasan tidak bisa dijadikan alasan untuk menyerah. Ini bukan ciri seorang infanteri dan prajurit TNI AD secara keseluruhan. Apapun situasi dan kondisinya, sumpah dan janji seorang prajurit harus dipegang teguh, misi harus tercapai.

Kedua, kecintaan pada Merah Putih, Pancasila, NKRI adalah segala-galanya. Itu doktrin yang tak bisa ditawar-tawar. Jika dulu jiwa dan raga dipertaruhkan, rela berkorban, sekarang hakekatnya juga sama. Menjaga NKRI tak mudah, karena ibarat wanita cantik, selalu banyak godaan dan trik musuh untuk mempersuntingnya. Konsisten dan komitmen dengan janji prajurit adalah hal utama. NKRI tidak lagi dihancurkan dengan kekuatan perang konvensional, tetapi dilemahkan dengan mengaburkan kecintaan warganya pada Pancasila dan Merah Putih. Prajurit harus sadar itu, bukan justru ikut-ikutan latah dengan kecenderungan publik.

Ketiga, memahami dan meyakini makna berdaulat secara penuh. Berdaulat bukan semata-mata hanya hapal Pancasila atau tahu dengan batas negara. Berdaulat artinya ada kemandirian bersama. Mandiri mengelola sistem pertahanan dan keamanan negara ini. Bagi tentara, mandiri disini identik dengan kemampuan untuk memanfaatkan seluruh potensi yang ada, tanpa harus buru-buru menggantungkan diri pada negara lain. Tidak bernafas keluar badan, begitu ungkapan orang Minangkabau, yang menegaskan bahwa kita mampu dan kita harus manfaatkan kekuatan itu. Berdaulat dan mandiri adalah dua sisi mata uang, yang kemudian menyatu dengan aspek pertama, tak pernah mengeluh.

Keempat, saat Palagan Ambarawa, yang dimiliki TKR hanyalah semangat membara, tanpa dukungan alutsista yang memadai. Namun semua bisa menjadi kekuatan besar. Kunci penting adalah inovasi, kreatifitas dan totalitas. Gagasan ini yang harus dimiliki seluruh prajurit, khususnya internal AD. Inovasi bisa dilakukan oleh siapa saja. Prinsipnya adalah tidak pernah puas dengan apa yang ada, selalu berusaha mencari sesuatu perubahan baru. Prajurit semestinya memegang ini, yaitu bersama-sama masyarakat menciptakan inovasi teknologi yang berguna bagi kepentingan orang banyak.

Kelima, penting dipahami bahwa sekarang yang dihadapi nyata adalah peperangan cyber dan perang tanpa senjata. Sandarannya adalah TI. Seluruh unsur TNI AD, mulai dari Bintara, Tamtama, maupun Perwira harus melek terhadap ini. Oleh karena itu bijak dan cerdas dalam memanfaatkan TI harus dipahami betul. TI harusnya jadi senjata untuk melumpuhkan lawan dan melakukan serangan balik. Jangan melawan TI, tapi bersahabatlah dengannya dan jadikan ia senjata sekaligus alat utama.

Kegagalan dalam memanfaatkan TI hanya berdampak negatif bagi individu dan satuan. Jangan sampai TI justru jadi boomerang, senjata yang makan tuannya sendiri. Karena itu, jajaran TNI AD wajib melek media, paham fungsi, kekuatan, sekaligus ancamannya.

Keenam, sejak masa Jenderal Soedirman dulu hingga sekarang, satu hal yang tak boleh berubah adalah kesatuan dengan rakyat. Tentara rakyat adalah slogan yang harus tertanam secara kuat. Kondisi rakyat mungkin berubah, dan jajaran TNI AD harus menyesuaikan diri dengannya. Karena itu, kreatifitas dan inovasi terkait dengan persoalan-persoalan kekinian di masyarakat, wajib dipahami. Kalau sekarang rakyat terbentur pada masalah teknologi pertanian, TNI AD harus bisa hadir sebagai inovator. Jika bencana selalu menghantui, maka prajurit harus jadi garda terdepan memberikan rasa nyaman dan aman. Semua adalah dalam rangka menjalin kebersamaan dan keterikatan kuat dengan basisnya. Sishanta ada dalam posisi ini, karena itu pembinaan teritorial harus dikedepankan.

Sementara itu, secara global, persoalan menonjol saat ini adalah derasnya desakan dan rongrongan arus liberalisme di semua sisi. Jika dulu ada perseteruan kuat antara paham sosialisme dan kapitalisme, maka kekuatan besar sekarang adalah sisi kapitalisme yang didorong oleh kuatnya rongrongan liberalisme. Paham ini terus masuk dengan berbagai metode yang menggunakan TI sebagai senjata dan titiannya. Yang digerus adalah sisi ke Indonesiaan, pelan tapi pasti itu terus didesak dan mengikuti alurnya.

Konkrit dari paham ini adalah menguatnya aspek individualistis di kalangan masyarakat, sementara keguyuban dan kebersamaan mulai mengendor. Ini ancaman mendasar. Saat masyarakat lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang keserasian sosial bersama warga lain, disitulah kekuatan sudah hilang. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, maka kondisi tercerai berai inilah yang tampak nyata.

Bagi TNI AD, ini harus dilawan, bukan lagi diwaspadai, karena ia sudah menyerang. Jalinan sosial di masyarakat sudah menjadi ruang-ruang kosong. Kita yakin ruang itu masih ada, modal sosial masih kuat, tetapi tak lagi terisi dan berganti dengan ruang baru yang sebenarnya melemahkan. Masyarakat sudah masuk ke ruang baru yang isinya adalah individu-individu yang tak lagi saling percaya, semua berjalan sendiri-sendiri. Sekilas itu tampak seperti kekuatan, padahal ia ibarat buih-buih di lautan yang tercerai berai. Disini, TNI AD harus mengambil tindakan, mengisi kembali ruang kosong, membangun lagi ikatan sosial yang masih bisa diselamatkan.

Perseteruan yang dipicu oleh kepentingan politik sesaat, nafsu politik individu, ternyata mampu membelah-belah ikatan sosial. Sifat kesukuan ditonjolkan, asal usul daerah jadi pedoman, bahkan silsilah keluarga ikut dibahas. Semua hanya untuk kepentingan sesaat untuk memuaskan syahwat politik belaka. Politik inipun bukan lagi untuk kebersamaan tapi jalinan kepentingan belaka. Berlindung dibalik paham demokrasi dan otonomi daerah, bibit perpecahan dengan menonjolkan identitas masing-masing terus ditanamkan. Maka, rasa saling percaya diantara anak bangsa, menjadi kain tipis yang telah robek diberbagai sisi. Post Truth istilah sekarang, kebenaran yang semu dan tergantung siapa yang mampu menggalang opini tentang kebenaran itu.

Pada posisi inilah, TNI AD dengan seluruh jajaran dan kekuatannya, harus mampu merajut dan membina kembali modal sosial tersebut. Masih ada ruang-ruang kosong yang dulu begitu digjaya, dan itulah yang harus diisi. Filososif tentara rakyat dengan doktrin rakyat adalah komponen strategis, serta modal sosial menjadi senjata pamungkas, sebenarnya mampu membangun itu. Kuatkanlah pembinaan teritorial, menyatulah pada semua komponen, berbaurlah dengan rakyat, jangan memihak apalagi partisan, adalah kunci terpenting. Semua adalah untuk bangsa, bukan untuk TNI AD semata. Hari Juang TNI AD setiap tahun, semestinya bisa menjadi pengingat untuk kembali pada semangat tersebut.
Penulis Adalah Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo
(Danrem 032 Wirabraja)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.