Mengadu kepada Andre Rosiade, Ninik Mamak Inderapura Minta Hutan Lindung Dikembalikan Lagi Jadi Ulayat Nagari
JURNAL SUMBAR | Padang – Ninik Mamak Inderapura Kecamatan Air Pura dan Kecamatan Pancung Soal, Kabupaten Pesisir Selatan mengadu kepada Andre Rosiade, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra. Pasalnya, tanah ulayat nagari mereka berubah status menjadi kawasan Hutan HPK (Hutan Produksi yang bisa Dikonversi) dan Hutan HL (Hutan Lindung). Padahal, lahan di kawasan hutan HPK dan hutan HL tersebut sudah digarap masyarakat jadi kebun kelapa sawit dan kelapa sawitnya sudah lama panen.
Di pertemuan Ninik Mamak Inderapura dengan Andre Rosiade di Restoran Suaso Kota Padang, Sabtu malam (26/4), Kamil Indra, Juru Bicara Ninik Mamak menjelaskan, seiring Incasi Raya Grup membuka lahan perkebunan kelapa sawit di tanah ulayat nagari Inderapura, masyarakat setempat juga membuka lahan kebun kelapa sawit di samping lahan kebun Incasi Raya Grup.
Kamil Indra mengatakan, hutan Inderapura dulunya bukan hutan HL atau pun hutan HPK, tapi hutan ulayat nagari. Namun saat negara membangun PLTA Koto Panjang di Riau tahun 1992, negara butuh hutan pengganti. “Saat itulah status hutan ulayat Inderapura diubah jadi hutan HPK dan hutan HL, dan perubahan status tersebut tidak banyak diketahui masyarakat. Dan sejak itulah menjadi masalah,” katanya.
“Masyarakat mulai membuka lahan perkebunan tahun 2000, dan baru dipersoalkan Kehutanan tahun 2021. Padahal, kelapa sawit masyarakat sudah besar dan sudah lama panen,” jelas Kamil Indra.
Dijelaskan Kamil Indra, Kehutanan menetapkan kawasan hutan HL seluas 7 ribuan hektar di kawasan pantai memanjang dari Pasir Ganting Nagari Pulau Rajo Kecamatan Air Pura sampai ke Kecamatan Silaut, dan kawasan hutan HPK seluas 14 ribuan hektar di Kecamatan Pancung Soal, Basa Ampek Balai Tapan, dan Lunang. “Kawasan hutan HL dan hutan HPK tersebut bersepadan dengan lahan HGU Incasi Raya Grup,” jelasnya.
“Alas hak sertifikat HGU Incasi Raya Grup adalah pelepasan tanah ulayat nagari Inderapura oleh Ninik Mamak Penghulu Suku Nan Dua Puluh,” ujar Kamil Indra.
Ditegaskan Kamil Indra, sejak masyarakat menggarap lahan tersebut tahun 2000, tidak ada tanda-tanda bahwa lahan tersebut kawasan hutan, baik berupa tanda batas maupun plang kawasan hutan, dan selama penggarapan, juga tidak ada teguran dari aparat terkait.
“Baru diadakan sosialisasi tahun 2021, bahwa lahan tersebut kawasan hutan HPK dan HL. Sejak itu, Kehutanan dan Polda Sumbar sering melakukan razia, dan sudah banyak yang ditangkap dan diproses hukum,” ujar Kamil Indra.
Kamil Indra menambahkan, tahun 2022 Ninik Mamak Inderapura membuat sanggahan kepada Kementerian KLHK dan Polri. “Sejak itu, tidak ada lagi razia,” ujarnya. “Di awal bulan Februari 2025, kembali ada razia oleh Krimsus Polda Sumbar, dan tiga orang masyarakat kami ditetapkan jadi Tersangka pada tanggal 15 Maret 2024,” tambahnya.
“Ninik Mamak dan masyarakat Inderapura berharap kepada bapak Andre Rosiade supaya status kawasan hutan HPK dan hutan HL tersebut dikembalikan lagi menjadi tanah ulayat nagari Inderapura,” harap Kamil Indra. “Dan, tiga masyarakat kami yang ditetapkan Tersangka, dibebaskan dari jeratan hukum,” tambahnya. “Sampai ada solusi atas keterlanjuran ini, kami berharap tidak ada lagi razia dari Kehutanan dan Polisi,” harapnya lagi.
Rombongan Ninik Mamak Inderapura yang dipimpin langsung oleh Ketua KAN, Khairul Saleh Rangkayo Rajo Gerang, dan Sekretaris, Khairul Amri Rangkayo Maharajo Gedang itu terdiri dari perwakilan Ninik Mamak, tokoh masyarakat dan perwakilan pekebun, termasuk pekebun yang ditetapkan Tersangka oleh Krimsus Polda Sumbar.
Kepala ATR/BPN Sumbar Teddi Guspriadi mengaku sangat terhormat diajak Andre Rosiade bertemu langsung para ninik mamak Indrapura. Dia menyebut pertemuan ini adalah bagian dari program khusus Kementerian ATR/BPN dalam memastikan sertifikasi tanah ulayat.
“Sangat terhormat bisa bersilaturahmi. Insya Allah kami akan perjuangkan ranah Minang. Prinsip kita ada sako pusako. Ada tanah nagari di status pemerintah dan kehutanan,” kata Teddi.
Teddi menyebut langkah mengembalikan status hutan lindung dan HPK harus dimulai dari Pemkab Pessel dan Pemprov Sumbar. Lalu membuat surat pengusulan kembali ke tanah ulayat. Karena saat ini, tanah itu berada di Kementerian Kehutanan (Kemenhut), bukan ATR/BPN.
“Kalau sudah oke di Kemenhut barulah BPN bisa melanjutkan sertifikasinya. Tapi seperti yang terjadi pada tanah di Inderapura, juga harus ada hutan pengganti seluas di Inderapura di tempat lain. Bisa di Pessel, atau daerah lain,” kata Teddi seraya menambahkan bahwa luas hutan lindung di Indonesia tidak boleh berkurang.
Andre Rosiade menyebutkan, ninik mamak Inderapura harus mengajukan surat permohonan melalui Pemkab Pessel dan Pemprov Sumbar.
“Harus ada pengajuan dari Pemkab dan Pemprov ke Kementerian Kehutanan dulu. Hal ini harus dieksekusi segera. Infokan juga kalau sudah diskusi dengan Andre Rosiade dan BPN Sumbar. Lalu mintakan juga kepada Bupati dan Gubernur untuk aktif membantu ke lapangan. Agar tidak ada lagi yang ditangkap. Dijelaskan bagaimana status lahan ini ke polisi,” kata Andre.
Andre mengatakan penyelesaian masalah lahan ini adalah surat ke Kemenhut, kemudian ke BPN. Dia berjanji akan membicarakan solusinya dengan Menteri Kehutanan, dan juga akan mengkomunikasikan status tersangka tiga orang masyarakat dengan Kapolda Sumbar supaya bisa diselesaikan dengan Restorasi Justice.
“Untuk yang ditangkap kita akan coba bicarakan dengan Kapolda sebagai masukan dari para ninik mamak soal perlindungan hukum,” kata Andre. Enye