JURNAL SUMBAR | Padang – Beberapa tahun belakangan ini berbagai macam tindakan asusila sering muncul dalam berita, seperti LGBT, sodomi, perkosaan anak kandung atau anak tiri oleh ayah. Fenomena tersebut dianggap sebagai ledakan kasus asusila di Sumbar. Banyaknya kasus asusila tersebut dinilai sebagai kegagalan Pemprov Sumbar membentengi moral masyarakat.
Kasus terbaru hubungan seksual lelaki sesama lelaki ialah di Sumbar ialah kasus dugaan sodomi yang terjadi di salah satu pesantren di Kabupaten Agam. Pelakunya ialah dua orang guru pesantren, sedangkan korbannya ialah 45 santri.
Sejauh ini belum diketahui jumlah LGBT di Sumbar. RSUP M. Djamil Padang hanya mencatat jumlah guy, yang melakukan hubungan seksual lelaki sesama lelaki, berdasarkan kasus HIV.
Konsultan penyakit tropik dan infeksi RSUP M. Djamil Padang, dr. Armen Ahmad, mengatakan bahwa jumlah pengidap HIV di Sumbar terus bertambah tiap tahun, tetapi ia belum merekap data terbaru hingga 2024. Yang jelas, katanya, ada peningkatan penyebab HIV di Sumbar karena hubungan seksual lelaki dengan lelaki.
“Dulu 7 dari 10 kasus HIV di Sumbar disebabkan oleh hubungan seksual lelaki sesama lelaki. Kini 9 dari 10 kasus HIV di Sumbar disebabkan oleh hubungan seksual lelaki sesama lelaki,” kata Armen di Padang, Jumat (16/8/2024).
Armen mengatakan bahwa pada 2022, dari 350 kasus HIV di Sumbar, 266 kasus di antaranya terjadi karena hubungan seksual lelaki sesama lelaki.
Berdasarkan perhitungan epidemiologi, kata Armen, di belakang satu penderita HIV dimungkinkan terdapat 100 penderita lainnya. Karena itu, jika 266 kasus dikalikan 100, ada 26.600 orang lainnya terdampak potensi risiko hubungan seksual lelaki sesama jenis.
Armen mencatat sejak 2004 hingga 2021 di Sumbar terdapat 1.168 kasus hubungan seks lelaki sesama lelaki dan waria. Hal itu berarti bahwa sekitar 116.800 orang terlibat dalam kasus tersebut dari 2004 hingga 2021, ditambah dengan 26.600 orang pada 2022.
Ustad Jelita Donal, menilai bahwa banyaknya kasus tindakan asusila di Sumbar belakangan ini merupakan ledakan kasus tersebut, bukan lagi puncak gunung es kasus tersebut. Menurutnya, hal itu merupakan bukti bahwa Pemprov Sumbar gagal membentengi moral masyarakat Sumbar.
Anggota DPD 2024-2029 itu melihat bahwa Pemprov Sumbar belum melakukan tindakan untuk mengantisipasi terjadinya kasus asusila. Menurutnya, kalau Pemprov Sumbar serius mengantisipasi kasus asusila, seharusnya ada sosialisasi kepada masyarakat, misalnya di sekolah.
“Pemprov Sumbar memiliki kewenangan atas SMA dan SMK. Pemprov bisa melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah tersebut tentang bahaya seks menyimpang,” ujarnya.
Selain itu, kata Ustad Jel, kalau Pemprov Sumbar serius mengantisipasi dan menyikapi banyaknya kasus asusila, seharusnya ada pendataan terhadap pelaku dan korban serta mencari tahu penyebabnya. Ia mengatakan bahwa korban sodomi akan menjadi pelaku suatu saat jika tidak diobati.
“Di rumah sakit jiwa ada unit khusus untuk mengobati korban sodomi secara psikologis agar tidak menjadi pelaku kemudian hari. Apakah Pemprov Sumbar pernah mendata korban sodomi dan punya program untuk mengobatinya?” ucapnya.
Ustad Jel mengatakan bahwa memberantas penyakit masyarakat bukan cuma tugas pemerintah daerah Namun, pemerintah daerah, seperti Pemprov Sumbar, harus mempelopori tugas tersebut karena punya anggaran dana, perangkat lengkap, punya sistem, dan punya kewenangan untuk mengeluarkan aturan dan kebijakan.
“Dengan kewenangan besar yang dimilikinya, Pemprov Sumbar dapat membuat formula untuk mengantisipasi LGBT. Pemprov juga bisa mengaktifkan semua pihak, seperti niniak mamak, ulama, pemuda, untuk mengantisipasi LGBT,” ujarnya.
Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, Fauzi Bahar, menilai Pemprov Sumbar belum berbuat untuk mencegah terjadinya tindakan asusila di Sumbar. Ia melihat Pemprov Sumbar selama ini hanya melakukan imbauan.
“Kalau sekadar melakukan imbauan, khatib di masjid juga melakukan imbauan.
Pemerintah adalah eksekutif. Eksekutif itu eksekutor, melakukan sesuatu. Pemerintah harus berbuat melalui kebijakan,” ujarnya.
Mencegah terjadinya perbuatan asusila, kata Fauzi, bukan hanya tugas pemerintah, melainkan tugas bersama semua unsur, termasuk niniak mamak dan alim ulama. Menurutnya, Pemprov Sumbar harus melibatkan LKAAM Sumbar dari sisi niniak mamak dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar dari sisi alim ulama.
“Jika tidak melibatkan niniak mamak dan ulama, Pemprov Sumbar akan keteteran menangani banyaknya masalah asusila. Dengan nilai-nilai adat dan agama perbuatan asusila dapat dicegah,” ucapnya.
Untuk melakukan berbagai kegiatan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindakan asusila, kata Fauzi, LKAAM dan MUI Sumbar membutuhkan biaya. Akan tetapi, Pemprov Sumbar tidak memberikan dana yang cukup untuk LKAAM dan MUI Sumbar. (di)