Bertujuan Damai, Rachmawati: Korea Utara Lebih Mencintai Kemerdekaan

JURNAL SUMBAR | Jakarta – Di Indonesia, nama Rachmawati Soekarnoputri tidak bisa dipisahkan dari Republik Rakyat Demokratik Korea atau Korea Utara.

Putri Bung Karno inilah yang kembali menghangatkan hubungan kedua negara yang sempat dingin di era Orde Baru. Pada tahun 2000 Rachma mengunjungi Pyongyang, ibukota Korea Utara, dan selanjutnya mendirikan dan memimpin Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Utara.

Di tahun 2001, bersamaan dengan peringatan hari lahir Bung Karno yang ke-100, Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) yang didirikan dan dipimpin Rachma menyerahkan Star of Soekarno kepada sejumlah tokoh dunia, di antaranya Kim Il Sung sang pendiri Korea Utara.

Tokoh dunia lain yang menerima Star of Soekarno di tahun 2001 itu adalah Ho Chi Min dari Vietnam, Jawaharlal Nehru (India), Sun Yat Sen (China Taipei), Norodom Sihanouk (Kamboja), George Washinton (Amerika Serikat), Josep Broz Tito (Yugoslavia), Ahmed Ben Bella (Aljazair), Charles De Gaulle (Prancis), Yaser Arafat (Palestina), Nelson Mandela (Afrika Selatan), Saddam Hussein (Irak), dan Ki Hajar Dewantara (Indonesia).

Di tahun 2015, YPS kembali menyerahkan Star of Soekarno. Kali ini hanya kepada empat tokoh dunia. Mereka adalah Mahathir Mohamad (Malaysia), Hugo Chavez (Venezuela), Fidel Castro (Kuba), dan Kim Jong Un (Korea Utara).

Dari keempat tokoh itu, hanya Mahathir Mohamad yang menerima Star of Soekarno secara langsung dalam upacara penganugerahan di Hotel Borobudur Jakarta, bulan September 2015. Tiga tokoh lainnya diwakili oleh Kedutaan Besar negara masing-masing di Indonesia.

Setelah penyerahan di Jakarta, Rachma mengutus Sekjen PPIK, Teguh Santosa, mengantar Star of Soekarno untuk Kim Jong Un ke Pyongyang. Di Pyongyang, Star of Soekarno itu diterima Presiden Korea Utara Kim Yong Nam dalam sebuah upcara resmi di Istana Presidium Tertinggi Rakyat Korea.

“Waktu kami memutuskan menyerahkan Star of Soekarno kepada Kim Jong Un banyak yang mencemooh kami. Saya dihujat banyak orang, disebut sudah hilang akal karena menyerahkan penghargaan yang menggunakan nama proklamator kemerdekaan Indonesia untuk seorang diktator seperti Kim Jong Un,” cerita Rachmawati ketika dikunjungi media di kediamannya di Jalan Jatipadang Raya, Jakarta Selatan, Minggu (17/6).

Menurut Rachma, dirinya tidak mundur karena dia yakin hujatan seperti itu hanya datang dari kalangan yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh mengetahui apa yang sedang terjadi di Semenanjung Korea.

“Mereka yang menghujat hanya mendapatkan informai sepihak dari media Barat yang sarat kepentingan Barat, tanpa memiliki pengalaman berinteraksi dengan publik Korea Utara dan pemimpin-pemimpin Korea Utara,” sambung Rachma lagi.

Rachma jalan terus dan tidak berpikir sedetik pun untuk berhenti. Dia dan PPIK terus menjalin hubungan baik dengan pihak Korea hingga kini. Bulan April lalu, bersama budayawan Jaya Suprana, Rachma mengundang pianis muda Korea Utara untuk tampil dalam konser perdamaian di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).

Sambung Rachma, setelah pertemuan antara pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong dengan Presiden Korea Selatan Moon Jaein dan Presiden AS Donald Trump, publik baru memahami bahwa ada sisi lain Korea Utara yang selama ini sengaja dikaburkan oleh pihak Barat.

“Korea Utara bukan bangsa dan negeri barbar yang ingin mengobarkan peperangan dan menyebarkan ketakutan. Negeri itu dibangun untuk tujuan-tujuan damai. Tetapi tentu saja, mereka lebih mencitai kemerdekaan. Manakala negara mereka diancam oleh pihak lain, mereka merasa berkewajiban untuk menghadapi agresor,” ujar Rachma lagi.

Ketika memberikan penjelasan ini, Rachma didampingi Sekjen PPIK Teguh Santosa yang melaporkan jalannya pertemuan Kim Jong Un dan Donald Trump di Singapura, pekan lalu.

Dalam kesempatan itu, Teguh mengatakan, secara pribadi dirinya salut dengan intuisi Rachmawati dalam melihat perkembangan politik global.

“Mbak Rachma seperti memiliki indera keenam dalam melihat perkembangan politik global. Pertimbangan-pertimbangan politik beliau, khususnya mengenai Korea Utara, terbukti benar,” ujar Teguh.

“Terkait dengan proses perdamaian di Semenanjung Korea, kami menilai, pihak Amerika Serikat harus membuktikan pernyataan Donald Trump yang ingin menghilangkan wargames dan kebijakan mereka yang selama ini menekan Korea Utara,” demikian Teguh Santosa. rilis/dey

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.